SOLOPOS.COM - Suratmi (bercadar hitam) saat menitipkan dua gepok uang kerahiman atas kematian suaminya, Siyono, kepada PP Muhammadiyah, Selasa (29/3/2016). (Ujang Hasanudin/JIBI/Harian Jogja)

Penggerebekan Densus 88 diwarnai kematian Siyono. Koalisi untuk keadilan melaporkan uang Rp100 juta ke KPK.

Solopos.com, JAKARTA — Koalisi untuk keadilan melaporkan uang duka cita sebesar Rp100 juta yang diberikan oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror kepada keluarga terduga teroris Siyono ke KPK. Uang itu ditolak oleh keluarga dan sempat diserahkan ke PP Muhammadiyah.

Promosi BRI Sukses Jual SBN SR020 hingga Tembus Rp1,5 Triliun

“Kami hari ini melaporkan uang yang selama ini diakui oleh Kapolri sebagai yang pribadi Kepala Densus 88 yang diberikan kepada keluarga Suratmi, uang Rp100 juta. Nah, uang yang sudah diakui itu kami laporkan ke KPK, masuk ke bagian ke pengaduan masyarakat [Dumas]. Selanjutnya tentu kami berharap KPK menindaklanjuti itu,” kata Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Danhil Anzar Simanjuntak di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (19/5/2016), dikutip Solopos.com dari Antara.

Danhil datang ke KPK bersama dengan Ray Rangkuti dari Lingkar Madani (Lima), Donal Fariz dari Indonesia Corruption Watch, dan Bahrain dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Selain itu, ada Tris selaku ketua tim pengacara orang tua Siyono, serta Kepala Divisi Advokasi Hukum dan HAM Kontras Yati Adriyani.

“Dugaan kami, uang ini berasal dari beberapa pihak. Sederhana sebenarnya untuk mengecek uang, itu ada catatan dari mana bank atau sumbernya. Karena itu, kami minta KPK untuk menindaklanjuti apakah ada dugaan gratifikasi atau suap. KPK tentu yang punya kewenangan untuk melakukan penyelidikan. Kami berharap ada tindak lanjut secara hukum,” kata Danhil.

Selain ke KPK, Danhil mengatakan bahwa koalisi juga sudah >melaporkan ke Polres Klaten terkait dengan kematian Siyono dan akan melakukan laporan secara perdata.

“Ini pengaduan pihak keluarga. Nah, mereka kemudian menyerahkan kepada kami, tentu kita mau tahu juga uang itu dari mana sumbernya, kalau ada potensi gratifikasi, ya, yang menentukan selanjutkan KPK,” ungkap Danhil.

Ray Rangkuti menjelaskan bahwa di balik penyerahan uang tersebut, ada sesuatu yang diinginkan Densus 88. “Penyerahan uang itu pasti ada sesuatunya, yakni agar tidak melanjutkan dan mengikhlaskan [proses hukum Siyono]. Menurut kami, uang ini disertai dengan persyaratannya, dan syaratnya jangan mengadu ke polisi, jangan didampingi ‘lawyer’,” kata Ray.

Menurutnya, perlu diselidiki apakah uang itu terkait upaya agar warga sipil seperti keluarga Siyono tidak menggunakan haknya. “Makanya, sekarang kami minta KPK agar segera mengusut dugaan gratifikasi, duit dari mana, mengingat apakah mungkin ada Kadensus punya ‘cash’ Rp100 juta? Kedua, apa makna permintaan uang itu?” kata Ray Rangkuti.

Baca juga: Beda Cerita Antara Samadikun Hartono, Hartawan, dan Kematian Siyono.

Sementara itu, Pelaksana Harian (Plh.) Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati mengatakan bahwa KPK akan melakukan penelaahan terhadap pelaporan tersebut. “KPK akan melakukan penelaahan atas laporan yang sudah masuk. Jika setelah nanti ditelaah, kami akan verifikasi apakah ini bisa ditangani atau tidak, apakah ranah KPK atau tidak,” kata Yuyuk.

Dilaporkan Solopos.com sebelumnya, Siyono, warga Dukuh, Desa Pogung, Kabupaten Klaten ditangkap Densus 88 Mabes Polri dan ditembak oleh dua anggota Densus 88 hingga meninggal dunia di Jakarta, 11 Maret 2016.

Suratmi alias Mufida, isteri Siyono merasa janggal atas kematian suaminya setelah ditangkap Tim Datasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri, beberapa waktu lalu. Apalagi, dia tiba-tiba menerima uang dua gepok (belakangan diketahui nilainya Rp100 juta) dan kemudian ia kembalikan.

Namun Suratmi tidak tahu harus mengembalikan ke mana. Akhirnya ibu lima anak ini pun menitipkan uang tersebut ke PP Muhammadiyah, Jl. Cikditiro, Jogja, Selasa (29/3/2016). Uang itu kemudian diterima langsung oleh salah satu Ketua PP Muhammadiyah, Busyro Muqoddas.

Kedatangan Suratmi di PP Muhammadiyah dikawal Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan puluhan laskar Islam dari Solo. “Ibu Suratmi merasa terganggu dengan uang ini. Uang ini akan kami simpan sebagai barang bukti bagi kami untuk melakukan proses hukum,” kata Busyro.

Belakangan, Kapolri Jenderal Pol. Badrodin Haiti menjelaskan bahwa uang itu merupakan uang pribadi Kepala Densus 88 Polri Brigjen Pol. Eddy Hartono. Sementara itu, dua penembak Siyono, yaitu AKBP T dan Ipda H, kemudian dijatuhi sanksi berupa demosi tidak percaya dalam putusan sidang kode etik.

Keduanya tidak direkomendasikan untuk melanjutkan tugas di Densus 88 dan akan dipindahkan ke satuan kerja lain dalam dalam waktu minimal 4 tahun. Namun, AKBP T dan Ipda H menyampaikan banding karena keberatan atas putusan sidang tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya