SOLOPOS.COM - Ilustrasi subsidi untuk cegah resesi ekonomi (Candra Mantovani/Solopos)

Solopos.com, SOLO–Keberhasilan menangani pandemi Covid-19 menjadi kunci pemulihan ekonomi nasional. Indonesia dituntut untuk menyelesaikan masalah pandemi lebih cepat dibandingkan negara maju sebelum ekonomi mereka kembali normal.

Mantan Menteri Keuangan Periode 2013-2014, Chatib Basri, menjelaskan Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa melakukan quantitative easing mungkin selama tiga tahun. Pengetatan kembali kebijakan fiskal mereka diprediksi terjadi pada 2023 untuk menghindari market bubble.

Promosi BI Rate Naik, BRI Tetap Optimistis Penyaluran Kredit Tumbuh Double Digit

Pengetatan kembali kebijakan fiskal ini membuat uang kembali ke negara asalnya. Hal ini pernah terjadi pada 2013 di Indonesia yang mengalami taper tantrum. Saat itu, Amerika Serikat memperketat kebijakan moneternya yang berdampak pada pulangnya dollar ke AS. Rupiah yang saat itu berada di level 14.000 mengalami tekanan.

Baca Juga: Hoaks Herbal FRY81 Bisa Cegah dan Obati Covid-19, Ini Faktanya

Untuk mengatasi hal ini, pemerintah dan Bank Indonesia harus memperketat kebijakan guna menjaga nilai tukar dan pasar keuangan. Jika dikaitkan dalam konteks penanganan pandemi, kebijakan ini akan berdampak pada proses pemulihan ekonomi yang sedang diupayakan pemerintah.

“Maka saya katakan upaya mengatasi pandemi adalah kunci. Kalau kita bisa mengatasi pandeminya lebih awal dibandingkan negara lain maka ada kemungkinan kita exit lebih cepat dibandingkan dengan negara-negara maju,” kata Chatib Basri, dalam talkshow virtual yang digelar Majelis Wali Amanat (MWA) Universitas Indonesia (UI), Rabu (27/1/2021).

Menurut Chatib, dampak pandemi secara ekonomi terasa di kalangan sektor informal. Jika dilihat dari profilnya, mereka yang berpengeluaran di bawah Rp5 juta per bulan menjadi kelompok paling terpukul akibat pandemi. Sebab, kelompok inilah yang komponen sebagian besar pengeluaran ada di kebutuhan pangan.

Baca Juga: GeNose Test Jadi Syarat Naik Kereta Per Hari Ini, Yuk Tengok Caranya

Sebaliknya, kelompok berpengeluaran di atas Rp5 juta per bulan cenderung bisa menabung. Sebab, pada kelompok ini pengeluaran terbesar ada di kebutuhan hiburan, leisure, dan travel. Pandemi membuat pemenuhan kebutuhan ini tidak terpenuhi akibat pembatasan mobilitas. Imbasnya, kelompok ini cenderung memilih menyimpan uangnya.

“Kalau pandemi tidak selesai, ekonomi sulit mengalami perbaikan. Selama mobilitas rendah terdampak pandemi, skala ekonomis tidak tercapai. Artinya, tidak ada investasi baru. Mobilitas menjadi sangat penting,” ujar pria yang juga menjadi pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UI.

Chatib juga mengusulkan agar pemerintah memperluas penerima program Bantuan Langsung Tunai (BLT) tidak hanya kepada kelompok miskin tetapi juga kelompok expiring middle class. Expiring middle class merupakan kelompok yang mau menjadi kelas menengah tapi belum bisa.

Mengutip data Bank Dunia, jumlahnya mencapai 120 juta – 140 juta orang atau sekitar 30 juta – 40 juta keluarga. BLT ini diberikan seiring dengan berlakunya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Sebab, kelompok ini tidak mendapatkan uang seperti kelompok penerima upah bulanan. Artinya, pemerintah membayar kelompok ini agar tetap di rumah.

“Katakanlah BLT dikasih Rp1 juta per bulan. Kalau dikali 30 juta rumah tangga sebulan membutuhkan Rp30 triliun. Tinggal mau berapa bulan PSBB? Setahun artinya butuh Rp360 triliun,” kata dia.

Baca Juga: SE Bupati Klaten soal Jateng di Rumah Saja Dinanti Pedagang Pasar

Vaksin sebagai Game Changer

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan pemerintah menerapkan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) menyusul terjadi lonjakan kasus akibat libur Natal dan tahun baru lalu. PPKM diharapkan bisa melandaikan kurva penularan, memulihkan kesehatan, dan mempersiapkan fasilitas kesehatan.

Airlangga optimistis perekonomian Indonesia bisa pulih pada 2021 dengan sejumlah faktor pendorong salah satunya ketersediaan vaksin Covid-19. Pada akhir 2021, Indonesia diprediksi mengalami pertumbuhan ekonomi 4,5-5,5 persen.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan selain pemulihan ekonomi, penangan pandemi juga dilakukan dengan konsisten melaksanakan protokol kesehatan. Pemerintah juga menggelar vaksinasi yang juga akan diakselerasi. Hal ini membutuhkan peran pemerintah daerah dan masyarakat dan swasta.

Baca Juga: Makam Pasien Covid-19 di Semarang Penuh, Ayo Di Rumah Saja!

Pada APBN 2021, pemerintah menganggarkan untuk bidang kesehatan senilai Rp169,7 triliun. Anggaran ini dipakai untuk akselerasi pemulihan kesehatan akibat Covid-19, dan reformasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) serta persiapan keamanan kesehatan.

Anggaran juga dialokasikan untuk antisipasi pengadaan vaksin dan vaksinasi, pemenuhan sarana prasarana kesehatan, tes PCR, dan bantuan iuran peserta PBI JKN, dan pembangunan atau rehab Puskesmas dan rumah sakit.

Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia, Franky Oesman Widjaja, menyatakan sepakat vaksinasi bisa menjadi game changer dalam pemulihan ekonomi nasional. Sebab, semakin cepat vaksinasi semakin cepat herd immunity tercapai. Hal ini membikin mobilitas masyarakat kembali leluasa untuk mendorong kegiatan perekonomian.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya