SOLOPOS.COM - PERAKITAN -- Sejumlah siswa SMK sedang melakukan perakitan mesin mobil Esemka di Solo Techno Park. Terkait pengembangan industri nasional dan sekolah kejuruan, sinergi antara kedua institusi ini dituntut semakin baik. (JIBI/SOLOPOS/dok)

SOLO — Kalangan industri menilai keberadaan teaching factory belum optimal membantu industri. Dibutuhkan sinkronisasi antara industri dan teaching factory yang didominasi kalangan SMK.

PERAKITAN -- Sejumlah siswa SMK sedang melakukan perakitan mesin mobil Esemka di Solo Techno Park. Terkait pengembangan industri nasional dan sekolah kejuruan, sinergi antara kedua institusi ini dituntut semakin baik. (JIBI/SOLOPOS/dok)

Promosi Kredit BRI Tembus Rp1.308,65 Triliun, Mayoritas untuk UMKM

Beberapa siswa magang bahkan terkesan hanya mencari nilai untuk memenuhi tugas sekolah, ketimbang membantu industri menyempurnakan teknologi seperti yang diharapkan. Hal itu mengemuka saat diskusi antara kalangan industri, pengelola teaching factory termasuk dari SMK, anggota dan pengurus Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Solo. Diskusi yang merupakan tindak lanjut kerja sama Pemerintah Jerman dan Indonesia untuk pengembangan sistem pendidikan kejuruan dan teknik yang digawangi Kadin Indonesia Jerman (Ekonid) dan GIZ itu dihelat di Sekretariat Kadin Solo, Rabu (8/2/2012) siang.

Wakil Ketua Kadin Solo, Lilik Setiawan, mengatakan masih ada jarak antara teaching factory dan industri. Sebagai gambaran, Lilik menyebut industri tekstil di Soloraya selama ini sangat bergantung pada mesin dari luar negeri. Bukan hanya mesin baru, terkadang industri juga mengimpor mesin lama. Padahal, menurutnya, bukan tidak mungkin kalangan SMK dan teaching factory seperti Solo Technopark dan ATMI bisa menghasilkan mesin industri tekstil.

“Limbah industri berupa mesin-mesin dari Belanda dan Inggris banyak masuk Indonesia. Nilai impor, termasuk mesin baru bisa sampai Rp2,1 triliun di API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia-red) Jawa Tengah. Kalau SMK bisa membuat mobil dengan 18.000 komponen, mengapa tidak membuat mesin tekstil,” beber Lilik.

Sinkronisasi kebutuhan industri dan kalangan teaching factory diyakini dia bakal sangat membantu industri di Soloraya. Lilik menjabarkan nilai investasi untuk mesin-mesin tekstil sangat tinggi. Untuk mesin pengering saja nilainya bisa lebih dari Rp1 miliar. Jika SMK atau teaching factory mampu membuatnya dengan bahan baku lokal, dia percaya harga mesin bisa ditekan sampai hanya ratusan juta rupiah.

Selain Lilik, peserta diskusi dari PT Sari Warna, Bayu Qadarisman, juga menilai dibutuhkan sinergi antara pihaknya dengan kalangan teaching factory. Bukan cuma soal alat industri, sinkroisasi juga dibutuhkan untuk melahirkan tenaga kerja yang tepat sesuai kebutuhan industri. Sayangnya, Bayu menegaskan pihaknya kerap menerima karyawan dari lulusan SMK yang tidak cukup mahir di bidangnya.

JIBI/SOLOPOS/Tika Sekar Arum

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya