SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Semarang–Pengamat Pendidikan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) PGRI Semarang, Muhdi, mengemukakan, pengembangan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) di suatu wilayah sebaiknya tidak didasarkan pertimbangan yang bersifat politis.

“Perundang-undangan menyatakan setiap kabupaten dan kota setidaknya minimal memiliki satu sekolah bertaraf RSBI, tetapi seandainya lebih sebenarnya tidak masalah, asalkan memenuhi kualifikasi,” kata Muhdi yang juga Rektor IKIP PGRI Semarang itu, di Semarang, Jumat (11/6).

Promosi Jaga Keandalan Transaksi Nasabah, BRI Raih ISO 2230:2019 BCMS

Namun, kata dia, pengembangan sekolah berlabel RSBI itu selama ini terkesan lebih kepada pertimbangan politis karena muncul anggapan bahwa daerah yang banyak memiliki RSBI atau SBI akan dianggap kualitas pendidikan di wilayah itu lebih maju dan berkembang.

Menurut dia, anggapan seperti itu akan membuat setiap daerah berlomba-lomba mengembangkan RSBI dan SBI, akhirnya sekolah-sekolah yang berada di daerah tersebut seperti dipaksakan untuk meraih label internasional, padahal mereka sebenarnya belum siap.

“Sekolah-sekolah yang sebenarnya belum siap secara sumber daya manusia dan fasilitasnya dipaksa untuk memenuhi kriteria sebagai RSBI, sehingga sekolah-sekolah itu pada akhirnya justru tidak menghasilkan lulusan dengan kualitas internasional,” katanya.

Pengembangan RSBI, kata dia, harus dimulai dengan penyiapan lembaga pencetak tenaga kependidikan (LPTK) untuk menghasilkan tenaga guru dengan kualitas internasional sehingga siap ditempatkan di sekolah-sekolah yang berlabel internasional tersebut.

“Para tenaga guru yang dicetak oleh LPTK-LPTK itu nantinya akan mengakomodasi pengembangan kurikulum yang diterapkan di RSBI dan SBI, sebab pengembangan kualitas guru di sekolah semacam itu tidak terbatas kepada penguasaan bahasa Inggris,” katanya.

Ia mengatakan, para guru sekolah biasa memang bisa dididik untuk menguasai bahasa Inggris, namun tidak ada jaminan proses pembelajaran akan berjalan optimal, mengingat setiap mata pelajaran memiliki istilah dan ciri khas yang harus dikuasai oleh para guru bersangkutan.

“Bisa jadi, ketika ada seorang guru yang baru dididik berbahasa Inggris menjadi mahir, tetapi apakah ada jaminan materi yang disampaikannya dapat ditangkap secara baik oleh para siswa,” kata Muhdi yang juga Sekretaris Umum PGRI Jawa Tengah tersebut.

Pengembangan RSBI dan SBI sebaiknya disiapkan dengan membangun sekolah yang benar-benar baru dan awal, serta seluruh aspek yang mendukung pengembangannya telah disiapkan, termasuk terkait sumber daya manusia dan fasilitas pendukung lainnya.

Selain itu, kata dia, pengembangan RSBI dengan pertimbangan gengsi suatu daerah justru akan menimbulkan gejolak, mengingat RSBI memang diperlakukan berbeda dengan sekolah lainnya, terutama terkait fasilitas dan pembolehan untuk menarik pungutan.

“Kalau suatu sekolah memang berkualitas, hal itu tidak masalah, namun bagaimana dengan sekolah-sekolah yang belum siap dan seolah dipaksa meningkatkan status menjadi RSBI, apalagi sistem evaluasi yang dipergunakan tetap sama yakni dengan ujian nasional (UN),” katanya.

Oleh karena itu, kata dia, pihaknya setuju jika ada kebijakan yang mengevaluasi kualitas pembelajaran di sekolah-sekolah berlabel RSBI dan SBI, dan sekolah yang tidak lolos akan diturunkan statusnya kembali menjadi sekolah standar nasional (SSN).

“Hal itu merupakan konsekuensi dari sebuah kebijakan, yakni adanya evaluasi dari kebijakan tersebut, sehingga diharapkan akan tercipta sekolah berlabel RSBI dan SBI yang benar-benar berkualitas dan bukan hanya sekedar formalitas dari label itu,” kata Muhdi.

ant/rif

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya