SOLOPOS.COM - Terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Yosua Hutabarat, Richard Eliezer alias Bharada E membungkukkan badan saat sidang putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Rabu (15/2/2023). (Antara/Sigid Kurniawan)

Solopos.com, JAKARTARichard Eliezer atau Bharada E yang divonis satu tahun enam bulan atau 1,5 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, meninggalkan perdebatan ihwal kariernya di polisi.

Ada pihak yang berpendapat Richard Eliezer, polisi 24 tahun itu masih berpeluang melanjutkan karier di polisi. Pihak lain menyebut Richard Eliezer mestinya dipecat agar tidak menjadi preseden buruk di tubuh kepolisian.

Promosi Kredit BRI Tembus Rp1.308,65 Triliun, Mayoritas untuk UMKM

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menyebut peluang terdakwa pembunuhan berencana bernama lengkap Richard Eliezer Pudihang Lumiu itu kembali menjadi anggota Polri sudah tertutup.

“Kalau merujuk pada Peraturan Pemerintah [PP] No. 1/2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri, peluang kembali menjadi anggota Polri maupun PNS Polri [kelanjutan karier di polisi] untuk seorang anggota yang sudah divonis pidana itu [seperti dihadapi Richard Eliezer] sudah tertutup,” kata Bambang, saat dimintai konfirmasi Antara di Jakarta, Kamis (16/2/2023).

Menurut Bambang, Richard Eliezer harus legawa kariernya di polisi akan berhenti. Apa yang dialami oleh Richard sebagai risiko dari seorang bawahan dalam menjalankan perintah atasan.

Pengalaman Richard menjalankan perintah atasannya untuk menembak rekannya sendiri, Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, hendaknya menjadi pembelajaran bagi personel Polri lainnya agar meletakkan kepatuhan kepada aturan bukan kepada perintah atasan.

“Ini harus menjadi pelajaran semua personel Polri. Dalam kondisi bukan perang atau di medan operasi keamanan agar tegak lurus pada aturan bukan pada perintah atasan,” ujar Bambang.

Dalam kasus ini, status Richard sebagai justice collaborator (JC) atau pengungkap fakta telah disetujui oleh hakim. Ini menjadi salah satu pertimbangan hakim dalam memberikan keringanan hukuman.

Namun, dalam sidang etik, kata Bambang, pilihan Richard untuk patuh kepada atasannya dengan menjalankan perintah menembak rekannya sendiri sebagai bentuk ketidakprofesionalan.

Fakta itu (status sebagai JC), kata dia, harus dikesampingkan, karena bukan dalam situasi perang atau operasi keamanan.

Artinya, dalam kondisi normal menjalankan perintah atasan tanpa berpikir pada aturan tetap tidak bisa dibenarkan pada anggota Brimob sekalipun.

“Kita ingin membangun polisi yang profesional atau tidak? Kalau taat pada pimpinan untuk melakukan hal yang salah diampuni, artinya kita permisif pada pelanggaran dan jauh dari semangat membangun polisi profesional,” katanya.

Bambang mengatakan sidang etik terhadap Richard Eliezer harus segera dilaksanakan setelah vonis hakim diketok. Putusan etik itu nantinya merujuk kepada PP No. 1/2003.

Apabila Richard Eliezer tidak dijatuhkan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat (PTDH) atau dipecet oleh komisi etik Polri, hal itu dapat menjadi preseden buruk bahwa personel pelaku tidak pidana bisa diterima sebagai anggota Polri dengan alasan sekedar menerima perintah atasan.

Menurut Bambang, Richard Eleizer berpotensi terkena sanksi PTDH meskipun vonis yang diterimanya kurang dari dua tahun. Karena, aturan tentang masa tahanan kurang atau lebih dari lima tahun hanya ada dalam Peraturan Kapolri (Perkap).

Sementara dalam tata perundangan, peraturan pemerintah (PP) lebih tinggi dari Perkap.

“Kalau Perkap bertentangan dengan PP, otomatis pasal dalam perkap itu gugur dengan sendirinya,” ujar Bambang menerangkan.

Meski demikian, kata Bambang, perjuangan Richard Eliezer sebagai saksi pelaku yang bekerja sama atau JC tidak sia-sia. Meskipun hukuman ringan dari majelis hakim disebut sebagai upaya menyelamatkan karier dan masa depan polisi berpangkat bharada tersebut.

“Tak ada yang sia-sia. Perjuangan dia akan dicatat dalam sejarah sebagai tumbal atasannya. Dan itu yang harus ditempuh. Publik harus bisa membedakan empati pada Eliezer sebagai manusia dengan upaya perbaikan institusi Polri,” kata Bambang.

 

Pendapat Berbeda

Sebelumnya, ahli psikologi forensik Reza Indragiri menyampaikan karier polisi yang berhadapan dengan hukum seperti Eliezer masih memiliki peluang melanjutkan karier di Polri. Syaratnya, jika dinyatakan bersalah, vonis yang dijatuhkan tidak lebih dari dua tahun.

Hal itu berdasar preseden sebelumnya. Menurut Reza, Kapolri Listyo Sigit Prabowo pernah menyampaikan anggota Polri yang terlibat kasus pidana dengan putusan hukuman di atas dua tahun penjara akan diberhentikan tidak dengan hormat atau dipecat.

Kondisi itu pernah dialami AKBP Brotoseno yang divonis lima tahun penjara dalam kasus korupsi. Meski sempat berkarier di Polri tanpa jabatan atau sebagai anggota staf, pada akhirny Brotoseno dipecat karena memicu perdebatan di tengah masyarakat.



“Kalau kita ingin menyelamatkan karier Eliezer sebagai personel Polri, berdasarkan preseden sebelumnya, andaikan divonis bersalah hukuman maksimalnya tidak lebih dari dua tahun saja,” ucap Reza di acara Kompas Petang.

Faktanya, majelis hakim PN Jakarta Selatan memvonis Richard Eliezer dengan pidana 1,5 tahun. Merujuk pada penjelasan Reza, Eliezer masih berpeluang melanjutkan karier di Polri.

Saat menyampaikan nota pembelaan atau pleidoi, beberapa pekan lalu, Eliezer menceritakan kariernya di Polri, khusus di Satuan Brimob, adalah impiannya.

Berdasar tayangan KompasTV di Youtube, Eliezer mengatakan menjadi polisi, utamanya menjadi anggota Brimob, adalah kebanggaan baginya dan keluarganya.

Dia menyebut sebelumnya menjalani empat kali tes bintara dan terakhir tes tamtama. Tes yang dijalaninya berkali-kali dilaksanakan dan dalam waktu lama, yakni sejak 2016 hingga 2019.

Selama itu pula Richard Eliezer tetap bekerja menjadi  sopir di salah satu hotel di Manado. Dia menjalani pekerjaan itu untuk membantu orang tuanya.

Seperti diketahui, vonis 1,5 tahun penjara Eliezer jauh lebih ringan dibanding tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang sebelumnya menuntut 12 tahun penjara.

Vonis itu paling ringan dibanding empat terdakwa pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.

Mereka meliputi dalang pembunuhan, Ferdy Sambo (vonis pidana mati), Putri Candrawathi (vonis 20 tahun penjara), Kuata Ma’ruf (vonis 15 tahun penjara), dan Ricky Rizal (vonis 13 tahun penjara).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya