SOLOPOS.COM - POS TERDEPAN -- Suasana pengamanan di salah satu pos TNI di perbatasan dengan Malaysia di Bengkayang, Kalimantan Barat. (JIBI/SOLOPOS/Antara)

Pontianak (Solopos.com) – Sejumlah pengamat menyatakan Indonesia harus bertindak lebih agresif di perbatasan dengan negara lain untuk mencegah kesenjangan dan konflik sosial dengan negara tetangga. Agresivitas itu bisa diwujudkan dengan kebijakan percepatan pembangunan perbatasan yang lebih tertata, terfokus disertai penegakan hukum yang tegas.

POS TERDEPAN -- Suasana pengamanan di salah satu pos TNI di perbatasan dengan Malaysia di Bengkayang, Kalimantan Barat. (JIBI/SOLOPOS/Antara)

Promosi BRI Bantu Usaha Kue Kering di Sidoarjo Berkembang Kian Pesat saat Lebaran

Hal tersebut diungkapkan antara lain oleh pengamat sosial Dr Mely G Tan. Menurut dia, kemungkinan konflik antara masyarakat perbatasan Indonesia dan Malaysia selalu ada setiap saat yang dapat disebabkan karena masalah kesenjangan sosial dan perdagangan lintas batas yang terjadi di perbatasan negara.

“Untuk itu diperlukan peraturan-peraturan yang jelas dan harus di sepakati antar negara. Namun, permasalahan yang sering dihadapi saat ini, peraturan yang mengatur tersebut sudah ada, namun sering dilanggar, baik oleh masyarakat yang tinggal di perbatasan, maupun oleh pemerintah sendiri,” katanya saat menyampaikan materi tentang Hubungan Antar Etnis Perbatasan Indonesia-Malaysia, di Pontianak, Kalimantan Barat, Senin (5/12/2011).

Mely yang juga merupakan anggota Komisi Ilmu Sosial Indonesia itu mengatakan, saat ini memang sudah banyak peraturan dan perundang-undangan yang dibuat, namun tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya oleh pemerintah. Dia menuturkan, kecenderungan yang terjadi di daerah perbatasan, ikatan emosional dan kekeluargaan dan suku antar dua negara di perbatasan masih sangat kuat. Tidak jarang ditemui banyak masyarakat antar dua negara yang saling berketergantungan antara satu dan yang lain.

“Ini juga terkadang menjadi suatu dilema dalam menyikapi masalah perbatasan. Yang jelas, peran dan perhatian pemerintah pusat jelas sangat diperlukan agar tidak terjadi kesenjangan antara masyarakat perbatasan dan dalam hal ini faktor kesejahteraan masyarakat dan pembangunan menjadi salah satu harga mati yang harus dilakukan pemerintah untuk mencegah terjadinya konlik tersebut,” tuturnya.

Pengamat lain, MD La Ode mengatakan dalam hubungan kedua warga masyarakat di wilayah perbatasan darat Kalbar-Serawak sering terjadi kesenjangan budaya dan ekonomi yang berdampak negatif terhadap ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam. “Untuk itu diperlukan kedaulatan wilayah teritorial NKRI di seluruh wilayah perbatasan antarnegara, agar dijadikan beranda terdepan dan strategis dari pertahanan negara,” katanya.

La Ode yang juga Direktur Eksekutif Center Institute of Strategic Studies (CISS) mengatakan, daerah perbatasan merupakan pintu masuk yang paling mudah bagi negara lain untuk melakukan ekspansi wilayah untuk memperluas ruang hidup. “Malaysia sangat memungkinkan untuk melakukan itu, karena infrastrukturnya seperti etnis, agama, dan kultur di perbatasan kedua negara adalah sama,” kata La Ode.

Ia mengutip perspektif geografi politik dari Karl Houshofer (1869) yang berkebangsaan Jerman yang dalam gagasannya menyatakan bahwa hubungan antara geografi dan politik melahirkan teori lebensraum (living space) atau ruang hidup. Kedaulatan negara di perbatasan menjadi bagian integral dari kedaulatan negara secara utuh untuk ditegakkan oleh pemerintah dari segala bentuk ancaman dan gangguan pencaplokan oleh bangsa lain yang tidak dapat ditawar-tawar.

Dengan demikian, kata dia, maka perbatasan itu hingga saat ini merupakan aspek yang terpenting dari tiap negara, khususnya Indonesia. Ia mengakui, kedaulatan wilayah teritorial NKRI di perbatasan antarnegara masih terjadi masalah yang multidimensional dan rumit. Di antaranya adalah masalah perbatasan darat antara Indonesia – Malaysia di Kalbar – Sarawak dengan Kaltim – Sabah yang masih terus terjadi. Ia melanjutkan, kekuatan militer antara Kalbar – Sarawak dan Kaltim – Sabah tidak seimbang baik ditinjau dari jumlah personel, organisasi, maupun kualitas dan kuantitas persenjataannya.

Ia mengatakan, transmigrasi plus dari unsur purnawirawan TNI dan Polri di perbatasan, green belt seperti perkebunan kelapa sawit, karet, coklat, lada serta jalan paralel di sepanjang perbatasan Kalbar – Sarawak menjadi kebijakan yang mendesak. “Di samping itu, zona industri, pertambangan, pergudangan dan transportasi berat juga menjadi substansi yang penting dan strategis bagi pengembangan pertahanan di wilayah perbatasan darat antarnegara Indonesia – Malaysia,” ujar La Ode.

JIBI/SOLOPOS/Ant

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya