SOLOPOS.COM - Acara Walk with Autism di Solo (JIBI/Solopos/Dok)

Kualitas pendidikan inklusif dipertanyakan.

Solopos.com, SOLO — Meski pendidikan inklusif berkembang pesat di Indonesia namun kualitasnya dipertanyakan. Tantangan lain terkait masih terbatasnya sumber daya manusia (SDM) yang memahami layanan siswa berkebutuhan khusus. Ada budaya segregrasi yakni keberhasilan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) selalu diawali dari sekolah luar biasa (SLB).

Promosi Efek Ramadan dan Lebaran, Transaksi Brizzi Meningkat 15%

Hal itu dijabarkan Ketua Program Studi (Kaprodi) Program S3 Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo , Gunarhadi, dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar yang digelar dalam Sidang Senat Terbuka di Auditorium UNS Solo, Selasa (3/10/2017).

Gunarhadi dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Pembelajaran Inklusif. Orasi ilmiahnya mengangkat mengenai cluster sebagai model pembelajaran humanistik ramah anak pada sekolah inklusif.

Beberapa tantangan lain adalah pemaksaan pendidikan inklusif dengan model penuh. “Anak-anak yang sebenarnya memiliki potensi keunikan hebat cenderung terabaikan. Anak-anak lamban belajar dan kesulitan belajar cenderung makin tertinggal,” papar dia.

Pendidikan inklusif merupakan wadah ideal bagi ABK mengakses pendidikan. Dengan terbatasnya jumlah SLB saat ini, pendidikan inklusif wajib mengangkat nilai sosial humanistik. Untuk itu perlu layanan pembelajaran yang terdiferensiasi atau berbeda kegiatan belajar mengajar.

Cara berbeda ini bisa dilakukan karena memungkinkan pengembangan psikopedagogik untuk memacu motivasi dan mengangkat self-esteem (harga diri) anak didik. “Saya menawarkan cluster sebagai solusi atas hambatan pada kelas inklusif penuh. Karena cluster sebetulnya dapat dilaksanakan dalam bentuk kelas khusus, cluster pull out, atau cluster baur,” terang dia.

Alasan penggunaan cluster adalah memadukan paradigma segregatif dengan integratif. Ada pembelajaran dalam bentuk kelompok kecil secara terpisah yang dilakukan di lingkungan sekolah baik yang berbentuk kelas khusus, cluster pull out, atau cluster baur pada sekolah inklusif.

Pembelajaran cluster dilaksanakan secara temporal kepada anak yang tertinggal dalam kegiatan akademik. Sebagian besar waktu lainnya dimanfaatkan untuk berinteraksi dalam kebersamaan dengan teman-teman pada umumnya.

Namun, menurut Gunarhadi, cluster hanyalah jembatan transisi menuju sekolah inklusif penuh. Kedua, setiap sekolah sesungguhnya dapat menyelenggarakan model cluster berupa kelas khusus di lingkungan sekolah reguler. Ketiga, SLB bisa bergabung dengan sekolah reguler untuk membentuk Sekolah Inklusif Satu Atap.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya