SOLOPOS.COM - Ilustrasi kekerasan seksual. (Dok. Solopos.com)

Solopos.com, SOLO—Ketua Satgas PPKS Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, mengatakan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus sangat penting. Meski begitu bukan berarti penanganan tersebut mulus tanpa hambatan.

Hambatan tidak hanya berasal dari relasi kuasa yang timpang, namun juga dari internal institusi perguruan tinggi. “Kasus-kasus kekerasan seksual itu sebetulnya, diakui atau tidak, memang betul-betul terjadi. Itu kasat mata,” kata dia kepada Solopos.com, Selasa (8/1/2023)

Promosi Kredit BRI Tembus Rp1.308,65 Triliun, Mayoritas untuk UMKM

Persoalan relasi kuasa yang timpang dari pelaku dan korban membuat kasus kekerasan seksual terkadang tidak muncul ke permukaan dan susah untuk diketahui.

“Bahkan lapor pun tidak berani. Jadi Satgas PPKS ini bisa menjadi wadah bagi pencegahan kasus kekerasan seksual,” imbuh dia.

Dia menyebut tugas awal Satgas PPKS adalah mencegah kasus seperti itu tidak terjadi di lingkungan kampus. “Terutama mahasiswa, dosen, tenaga pendidik, atau masyarakat kampus,

Ismi mengungkap cara yang ditempuh untuk melakukan pencegahan, seperti melakukan komunikasi dan sosialisasi melalui media sosial atau secara langsung. “Nanti bahkan kita di tanggal 15 Maret, itu kami juga mengangkat tema berkaitan dengan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual,” kata dia.

Pihaknya menyebut sudah melakukan sosialisasi ke mahasiswa melalui Badan Eksekutif Mahasiswa atau BEM. Dia juga melakukan sosialisasi kepada pimpinan fakultas.

“Kami minta ke dekan-dekan agar ketika rapat satgas diundang untuk meperkenalkan apa itu satgas PPKS,” imbuh dia.

Sedangkan pada tahap penanganan kasus kekerasan seksual, pihaknya sudah membuat kanal aduan secara online. “Nanti bisa kunjungi ke Instagram kami, Satgas PPKS UNS itu di sana terduga korban atau pun saksi yang ingin melaporkan kasus kekerasan seksual itu tinggal ngeklik di situ,” ujar dia,

Nanti dari situ, kata Ismi, Satgas PPKS akan menindaklanjuti terduga korban dan menanyakan kesanggupan untuk didampingi sampai kasus dianggap selesai.

“Nah, setelah ada yang melapor, kami melakukan investigasi, memanggil saksi, baru nanti kalau data cukup lengkap, kemudian mengundang terduga pelaku,” tutur dia.

Sedangkan ketika terduga pelaku tidak mau mengakui dugaan kekerasan seksual. Ismi mengatakan tim satgas akan melakukan pengecekan saksi secara berulang.

“Ini untuk menyakinkan apakah kekerasan seskual itu betul dilakukan atau tidak. Setelah yakin dan data terkumpul kita melakukan pertemuan dengan stakeholder,” imbuh dia.

Pertemuan itu melibatkan jajaran tertinggi fakultas, Majelis Kode Etik, dan wakil rektor. “Dari forum ini kami melaporkan ini lo kasusnya, ini bukti-bukti yang didapat. Setelah itu dari satgas memberikan rekomendasi [agar pelau mendapat] sanksi administrasi,” kata dia.

Sementara itu, sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku diputuskan melalui surat keputusan (SK) dari rektorat. Dia menegaskan Satgas PPKS hanya bisa memberikan rekomendasi. Lalu untuk sanksi administrasi terberat adalah dikeluarkan dari kampus.

Sedangkan langkah hukum merupakan kewenangan korban. Dia mengatakan jika korban menginginkan kasusnya dibawa ke ranah hukum, maka pihaknya tetap akan mendampingi. Namun sejauh ini belum ada kasus yang sampai ke kepolisian.

“Jadi penanganan yang dilakukan oleh Satgas PPKS itu lebih hal-hal yang sifatnya secara internal, dari proses pencegahan, penanganan, sampai ke pemulihan korban. Kita juga menyediakan tenaga psikolog, supaya trauma yang dalami bisa hilang,” ujar dia.

Sayangnya sejauh ini, dari rekomendasi yang diberikan oleh Satgas PPKS, belum sepenuhnya dipenuhi. Ismi mengatakan usulan penjatuhan sanksi yang sudah disampaikan oleh Satgas PPKS tidak selalu diikuti oleh pihak rektorat.

“Tidak pernah pimpinan universitas menjatuhkan sanksi lebih berat dari usulan Satgas, tapi kalau menurunkan [atau meringankan sanksi] itu pernah,” ujar dia.

Dia menegaskan Satgas PPKS memiliki peran yang sangat penting untuk membuat kampus itu benar-benar terbebas dari kekerasan seksual.

“Cuma ternyata pimpinan universitas itu masih tidak mau menggunakan terminologi pelanggaran terhadap kekerasan seksual di perguruan tinggi. Jadi akhirnya bunyinya adalah penjatuhan sanksi pelanggaran kode etik,” kata dia.

Meskipun di kode etik memang ada dua pasal tentang kekerasan seksual. Namun detailnya, dia mengatakan sudah diatur di Satgas PPKS.

“Jadi ini overlap [antara] penanganan Majelis Kode Etik Mahasiswa dan Satgas PPKS. Padahal kalau sudah menyangkut kekerasaan seksual di kampus maka otoritas tertingginya ya di Satgas PPKS,” imbuh dia.

Sejauh ini dia mengatakan belum ada pelaku yang dijatuhi sanksi administrasi berat berupa dikeluarkan dari universitas. “Nah untuk hal itu, sepertinya Satgas PPKS seluruh Indonesia harus berani untuk berjuang. Tapi butuh waktu, kita butuh waktu,” ujar dia.



Padahal upaya pencegahan dan penanganan kasus seperti kekerasaan seksual perlu melibatkan seluruh struktural kampus, termasuk mengeluarkan pelaku yang terbukti melakukan kekerasan seksual dari universitas.

Ketua Satgas PPKS Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, Soemaryatmi, ketika dihubungi Solopos.com, Rabu (8/2/2023) menyebut hal senada bahwa pencegahan kekerasan seksual di level kampus memang sangat penting.

“Saat ini memang dirasa sangat memprihatinkan dan itu memang sudah terjadi, dari data yang saya baca level pertama ada di perguruan tinggi, artinya ini harus mendapat perhatian, ditindaklanjuti, dan [harus] ada prioritas [dari kampus],” kata dia

Dia mengatakan Satgas PPKS ISI Solo baru saja terbentuk pada Desember 2022 lalu. Soemaryatmi menyebut saat ini prioritas utamanya adalah membuat SOP untuk penanganan kasus kekerasan seksual. “Jadi nanti kalau ada yang mau melapor sudah tahu ke mana. Kita tetap akan buat alurnya bagaimana,” tutur dia.

Selain itu, untuk melakukan pencegahan pihaknya akan melibatkan berbagai pihak yang kompeten di bidangnya. “Misal kita akan kerjasama dengan psikolog untuk pendampingan korban, atau dengan lembaga hukum, atau dari kepolisian,” ujar dia.

Dia mengenaskan dalam penanganan kasus ataupun pencegahan, Satgas PPKS ISI tidak bisa berdiri sendiri dan memerlukan bantuan dari semua pihak.

Kendala utama adalah mendeteksi secara dini potensi kasus, sebab banyak korban yang masih enggan melapor ke Satgas. “Sejauh ini belum ada kasus yang dilaporkan,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya