SOLOPOS.COM - Ilustrasi pemungutan suara pemilu (JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto)

Ilustrasi (JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto)

JAKARTA – Pengamat politik Universitas Indonesia Budiatna mengatakan tingginya angka massa mengambang menunjukkan ketidakpercayaan masyarakat kepada partai politik karena hanya dimanfaatkan menjelang pemilihan umum saja.

Promosi BI Rate Naik Jadi 6,25%, BRI Optimistis Pertahankan Likuiditas dan Kredit

“Rakyat sudah bosan karena hanya dimanfaatkan suaranya menjelang pemilu setelah itu ditinggalkan. Massa mengambang ini belum menentukan pilihan dan masih menunggu,” kata Budiatna, Sabtu (1/6/2013). Dia mengatakan massa mengambang tersebut masih menunggu munculnya figur yang bersih dari korupsi dan dapat dipercaya karena pilihan masyarakat dalam pemilu tidak melihat parpol tetapi figur seorang yang diusung partai.

“Massa mengambang itu banyak dari kalangan intelektual dan mereka sebel dengan parpol karena banyak tokoh yang perilakunya kotor dan koruptif,” ujarnya. Budiatna mencontohkan masyarakat kecewa dengan perilaku koruptif yang ditunjukkan Partai Keadilan Sejahtera dengan dugaan keterlibatan mantan Presiden PKS dalam kasus dugaan korupsi impor daging sapi di Kementerian Pertanian. Menurut dia, PKS selama ini mencitrakan diri sebagai partai agama, bersih, dan tidak korupsi. Akan tetapi, kenyataannya sangat bertolak belakang dengan pencitraan tersebut.

Dia menegaskan bahwa masyarakat saat ini sudah semakin cerdas dalam melihat realita politik yang terjadi sehingga akan memilih figur pemimpin yang bersih. Selain itu, menurut dia, masyarakat masih menunggu figur pemimpin yang secara tulus akan memperjuangkan kepentingan mereka.

“Pada Pilkada DKI Jakarta, Foke didukung 10 partai tetapi kalah, sedangkan Jokowi didukung dua partai, lalu menang. Namun, masyarakat memilih Jokowi bukan karena partai pengusungnya, melainkan figurnya,” katanya menandaskan.

Sebelumnya, survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menyebutkan tingkat “undecided voters” dan golput masih relatif tinggi. Sebanyak 40,5 persen responden belum menentukan pilihan dan 2,7 persen golput. Semakin tingginya angka golput disebabkan adanya hubungan yang lemah antara konstituen dan partai politik atau politikus. Hal ini menimbulkan kualitas hubungan yang buruk di antara pemilih dan partai sehingga menimbulkan perilaku beli putus serta tidak adanya hubungan emosional antara rakyat dan politikus menjadi penyebabnya.

Survei CSIS kali ini menguatkan pandangan tentang tidak terlembaganya parpol yang mengakibatkan proses rekrutmen dan kaderisasi yang merupakan pintu gerbang hubungan partai konstituen juga lemah. Survei tersebut dilakukan secara tatap muka dengan jumlah responden 1.635 orang yang berada di 31 provinsi pada tanggal 9–16 April 2013. Warga Papua dan Papua Barat tidak dilibatkan dalam survei lantaran situasi yang tidak kondusif.

Di dalam survei tersebut tingkat kesalahan atau “margin of error” sebesar 2,42 persen. Seperti survei selama ini, sebanyak 40,5 persen responden belum menentukan pilihan dan 2,7 persen golput.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya