SOLOPOS.COM - Para pemudik turun dari bus Agra Mas Jurusan Jakarta-Wonogiri di Terminal Induk Giri Adipura Wonogiri, Minggu (20/7/2014). Mereka terlambat datang ke kampung halaman lantaran bus terjebak kemacetan panjang pascaamblesnya Jembatan Comal, Kabupaten Pemalang. (Bony Eko Wicaksono/JIBI/Solopos)

Pembatasan usia bus jarak jauh yang diterapkan Gubernur DKI Jakarta, Ahok, berimbas pada sejumlah perusahaan otobus (PO) di Soloraya.

Solopos.com, SOLO — Pengusaha perusahaan otobus (PO) berharap pemerintah memberikan solusi mengenai aturan pengoperasionalan bus maksimal 25 tahun. Hal ini karena apabila tidak ada kompensasai dinilai akan banyak angkutan umum trayek bodong yang beroperasi.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Berdasarkan aturan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. 98/2013 tentang Standar Pelayanan Minimal Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor dalam Trayek maksimal usia kendaraan adalah 25 tahun untuk layanan jarak jauh. Namun Pemerintah Provinsi Jakarta pada tahun lalu mengeluarkan kebijakan bus jarak jauh yang beroperasi maksimal berusia 10 tahun.

Meski aturan tersebut untuk hanya untuk DKI Jakarta, tapi pengusaha di daerah juga terdampak karena banyak yang menyasar Jakarta sebagai kota tujuan. Pemilik PO Muncul, Surparyoto, mengaku tidak keberatan dengan adanya peremajaan setiap 10 tahun atau 25 tahun sekali. Namun pihaknya berharap ada solusi dari pemerintah terhadap bus yang dinyatakan tidak laik jalan.

Pihaknya berharap mobil yang sudah tidak laik jalan tersebut ditampung atau dibeli oleh pemerintah. Setelah itu, dana hasil penjualan unit lama bisa digunakan sebagai uang muka untuk kredit kendaraan yang baru. Hal ini karena tidak semua perusahaan PO memiliki modal yang besar.

“Kalau bus dibatasi umurnya dan tidak ada yang menampung, lalu kendaraannya untuk apa? Selain itu, biaya operasional yang tinggi terkadang membuat pengusaha untuk membeli sparepart. Kalau tidak segera direspons oleh pemerintah, akan banyak kendaraan trayek bodong yang beroperasi,” tuturnya saat berbincang dengan Espos di garasi miliknya, Sabtu (31/1/2015).

Menurut dia, memperoleh pembiayaan pembelian bus baru di perbankan memang mudah tapi bunga yang diberikan lebih tinggi jika dibandingkan kendaraan pribadi. Oleh karena itu, banyak pengusaha PO yang ragu untuk mengambil pinjaman mengingat kondisi angkutan sepi.

Pemilik PO Sumba Putra, Edy Purwanto, juga berpendapat hal yang sama. Pihaknya berharap ada solusi untuk kendaraan yang sudah tidak digunakan. Meski begitu, Ketua Organda Wonogiri ini mengaku sudah mengimbau anggotanya untuk menyisihkan dana guna melakukan peremajaan. Seperti halnya untuk angkutan kota, Edy mengatakan ada perpanjangan waktu dari 20 tahun menjadi 23 tahun. Pihaknya pun berharap, hal tersebut bisa memberi tambahan waktu dalam melakukan peremajaan kendaraan.

“Belum ada PO yang tutup kalau di Wonogiri, tapi pengoperasian kendaraan memang berkurang. Ini hanya untuk bertahan, jadi kalau mau peremajaan juga cukup sulit,” paparnya.

Suparyoto menilai ke depan bisnis ini akan semakin sulit saat rel ganda sudah mulai dioperasikan. Penumpang akan banyak yang beralih ke kereta dan bus akan semakin ditinggalkan. Oleh karena itu, peremajaan kendaraan menjadi semakin sulit.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya