SOLOPOS.COM - Hakim Konstitusi Patrialis Akbar (JIBI/Solopos/Dok.)

Solopos.com, JAKARTA — Patrialis Akbar yang oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dibatalkan statusnya sebagai hakim konstitusi menuding adanya motif-motif tertentu di balik gugatan yang dilayangkan terhadap Keputusan Presiden (Keppres) No. 87/P/ 2013 oleh Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi.

“Membuat saya heran SK Presiden Nomor 87 itu bukan SK Patrialis saja, tapi menyangkut tiga orang Patrialis, Maria Farida Indrati, dan Achmad Sodiki. Sementara yang diekspos, diberitakan, adalah SK Patrialis,” kata Patrialis yang dihubungi Kantor Berita Antara dari Jakarta, Selasa (24/12/2013) malam.

Promosi Bertabur Bintang, KapanLagi Buka Bareng BRI Festival 2024 Diserbu Pengunjung

Patrialis mengaku tidak tahu apa motif dan tujuan utama dari gugatan terhadap Keppres serta segelintir komentar tendensius di media itu, namun dia merasa seperti ada sentimen dari pihak-pihak tertentu terhadap dirinya secara personal. “Padahal saya tidak mengganggu mereka. Mungkin mereka merasa lebih hebat. (Tapi) kalau berminat (jadi hakim MK) itu hak masing-masing,” kata dia.

Patrialis juga menduga, pernyataan sejumlah pihak yang menyebut dirinya tidak negarawan karena menempuh upaya hukum banding terhadap Putusan PTUN, merupakan bukti pihak-pihak tertentu ingin dirinya cepat mundur dan gugur dari jabatannya sebagai hakim MK saat ini. “Mereka mau tepuk tangan agar saya gugur dengan cepat. (Padahal) kalau saya tidak banding, hancur MK, sementara pemilu sudah dekat. Jadi ukuran negarawan atau tidak itu bukan perihal banding, tapi ukuran negarawan itu yang menguasai konstitusi,” ujar dia.

Dia menekankan upaya banding terhadap Putusan PTUN dilakukan karena menurut dia, Keppres pengangkatan dirinya dan Maria Farida, sudah sesuai dengan UUD 1945 dan UU MK kala itu. Melalui Keppres itu Presiden berhak mengajukan tiga orang hakim MK dan tiada satu orang pun yang bisa ikut campur. Upaya banding juga ditempuh guna meluruskan cara berpikir hakim pengadilan tingkat pertama PTUN itu.

“Putusan PTUN tentu kita hormati, tetapi kalau tidak sependapat tentu banding. Nanti dibahas dalam banding itu mengenai putusannya. Selain itu saya juga telah mendapatkan informasi dari Menkopolhukam bahwa pemerintah juga mau mengajukan banding,” papar dia.

Sementara itu perihal pertimbangan putusan PTUN membatalkan Keppres karena pengangkatan Patrialis dan Maria Farida tidak transparan dan partisipatif, bagi Patrialis itu persoalan internal pemerintah. Presiden, kata dia, tentu sudah memiliki satu sistem tersendiri dalam tata cara pengangkatan hakim. Presiden juga tentu sudah mendapatkan masukan dari berbagai pihak.

“[Lagi pula] kita ini kan bukan orang yang tidak dikenal masyarakat, kemudian seluruh syarat formal juga tidak ada yang tidak terpenuhi, jadi itu terserah pemerintah (menunjuk/mengangkat). Saya sebelum diangkat pun juga dipanggil Presiden, Menkopolhukam, Mensesneg dan lain-lain, saya ditanya visi-misinya apa,” kata dia.

Lebih jauh Patrialis mengaku mendapatkan informasi dari kuasa hukumnya, bahwa komposisi majelis hakim yang memutuskan membatalkan Keppres bukanlah majelis hakim yang sedari awal menangani perkara Keppres itu. Dari tiga majelis hakim yang memutus perkara itu, dua di antaranya merupakan hakim yang baru saja dilimpahi perkara itu.

“Saya dapat informasi dari pengacara saya, bahwa ketua majelis hakim yang awalnya menangani gugatan Keppres yaitu pak Bambang baru saja dipindahtugaskan sehingga digantikan, lalu ada satu lagi majelis hakim yang masuk. Sehingga dari tiga majelis hakim yang menangani itu hanya satu orang yang merupakan hakim lama, dan dia kabarnya berbeda pendapat dengan dua hakim lain. Tapi saya mau baca dulu,” kata dia.

Sebelumnya, Senin (23/12), Majelis Hakim PTUN Jakarta memutuskan membatalkan Keppres No. 87/P/Tahun 2013 tanggal 22 Juli 2013, yang sebelumnya digugat oleh Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi (YLBHI, ICW, ILR dan lain-lain), karena dinilai cacat hukum. Keppres yang dibatalkan oleh PTUN adalah Keppres pengangkatan Patrialis Akbar dan Maria Farida Indrati sebagai hakim MK. Melalui Keppres itu Patrialis diangkat untuk menggantikan hakim konstitusi Achmad Sodiki yang akan memasuki masa pensiun, sedangkan Maria Indrati diperpanjang masa kerjanya.

Menurut Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) selaku salah satu penggugat Keppres, dengan pembatalan pengangkatan Patrialis Akbar dan perpanjangan masa kerja Maria Farida Indrati sebagai hakim konstitusi, maka seharusnya yang berlaku adalah Keppres sebelumnya, yakni Achmad Sodiki tidak jadi digantikan Patrialis dan tetap menjabat hakim MK, sedangkan Maria Farida tidak jadi diperpanjang masa kerjanya dan meneruskan masa kerja periode pertama. Namun atas putusan PTUN itu Patrialis mengajukan banding. Pemerintah pun dikabarkan akan segera melakukan hal serupa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya