SOLOPOS.COM - Ilustrasi hukum (JIBI/Dok)

Pasal Penghinaan Presiden diwacanakan akan dihidupkan lagi.

Solopos.com, JAKARTA — Indonesia Police Watch (IPW) menilai jika pasal penghinaan presiden dihidupkan lagi di dalam Kitab-kitab Undang Hukum Pidana (KUHP), maka Polri yang akan kerepotan karena dituding sebagai alat presiden mengkriminalisasi para pengkritik atau lawan politiknya.

Promosi Tenang, Asisten Virtual BRI Sabrina Siap Temani Kamu Penuhi Kebutuhan Lebaran

“Sama seperti saat memproses pengaduan Sarpin [Rizaldi, hakim Pengadilan Negeri Jaksel], Polri dituding melakukan kriminalisasi pada Komisi Yudisial,” kata Ketua Presidium IPW Neta S. Pane dalam keterangan tertulisnya, Minggu (9/8/2015).

Neta berharap pasal penghinaan presiden tidak perlu dimasukkan dalam KUHP. Menurut dia ada dua alasan yang harus diperhatikan terkait usulan tersebut, pertama, pasal itu sudah dicabut Mahkamah Konstitusi. Kedua, posisi warga negara sama di depan hukum, sehingga presiden sangat tidak pantas diistimewakan secara hukum.

“Memberi keistimewaan hukum pada presiden sama artinya melakukan diskriminasi terhadap rakyat dan hukum itu sendiri,” katanya.

Untuk itu, lanjut Neta, pasal penghinaan presiden tidak perlu ada. Sebab, di dalam KUHP sudah ada pasal yang mengatur soal penghinaan dan pencemaran nama baik.

Neta berujar jika merasa dihina, presiden dapat melapor ke polisi dengan pasal penghinaan dan pencemaran nama baik di KUHP. “Sama seperti hakim Sarpin yang melaporkan dua hakim KY, dangan tuduhan penghinaan dan pecemaran nama baik,” katanya.

Polisi Terima Getah

Di sisi lain, IPW melihat dimunculkannya kembali pasal itu tak lebih akibat penyakit kekuasaan yang ingin mempertontonkan superioritasnya sebagai penguasa.

“Jika pasal itu dihidupkan lagi Polri yang akan menerima getahnya. Wong Polri menindaklanjuti pengaduan Sarpin dan Romli saja, Polri dikecam habis-habisan dan Kabareskrim dianggap pro koruptor,” katanya.

Seperti diberitakan, Pemerintah mengusulkan 786 pasal RUU KUHP ke DPR untuk dimasukkan ke KUHP, diantaranya pasal tentang penghinaan presiden. Mahkamah Konsti?tusi sendiri sebelumnya telah mencabut pasal itu karena dianggap tidak memiliki batasan yang jelas. ?

Adapun Pemerintah beralasan RUU ini merupakan warisan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang mengusulkan kali pertama pada 2012. Usulan tersebut telah menimbulkan pro kontra, sebagian menganggap mengganggu kehidupan berdemokrasi karena mengancam kebebasan berpendapat. Sebagian lain menilai presiden sebagai simbol negara harus dihormati, sehingga perlu dibedakan antara kritik dan penghinaan.
?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya