SOLOPOS.COM - Kelenteng Pao Hwa Kong di Ampenan, Lombok, merupakan kelenteng tertua dan satu-satunya di Lombok (google street view)

Solopos.com, MATARAM —  Siapa yang tak terpesona dengan keindahan Pulau Lombok. Salah satu pulau yang terletak di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) ini tak hanya dikenal dengan panorama pemandangan alamnya, namun juga sebagai Pulau Seribu Masjid.

Namun tahukah Anda jika di tengah deretan masjid yang berdiri di Lombok, terdapat salah satu warisan ikonik berupa kelenteng?

Promosi Simak! 5 Tips Cerdas Sambut Mudik dan Lebaran Tahun Ini

Keberadaan tempat ibadah bagi masyarakat Tionghoa ini menjadi bukti akan toleransi dan keberagaman yang ada di Indonesia. Bagaimana berbagai etnis, budaya, dan agama dapat hidup berkumpul dan hidup secara berdampingan sejak dahulu kala.

Di Lombok, keberagaman itu dapat kita jumpai di wilayah Ampenan. Hal ini disebabkan kawasan Ampenan dekat dengan pelabuhan yang menjadi pintu masuk bagi para pendatang. Berkatnya, Ampenan juga dikenal sebagai pusat niaga yang ada di Lombok.

Dilansir dari laman Indonesia.go.id, Selasa (24/01/2023), menurut sejarah masyarakat Tionghoa datang ke Lombok dan membentuk komunitas di kawasan Pabean di Ampenan. Sama seperti beberapa kota lainnya di Indonesia, berkumpulnya komunitas etnis Tionghoa membentuk kawasan Pecinan di wilayah ini.

Jika Anda bertandang ke Ampenan, Anda dapat dengan mudah menemukan kawasan Pecinan yang ditandai dengan sebuah gapura besar setinggi tujuh meter berwarna dengan tulisan “Kota Tua Ampenan”. Selain itu, terdapat juga sebuah kelenteng bernama Pao Hwa Kong.

Di era pemerintahan Orde Baru, Kelenteng Pao Hwa Kong memiliki nama Vihara Bodhi Dharma yang menjadi tempat ibadah bagi umat Buddha, Tao, dan Konghucu. Konon, kelenteng ini sudah berdiri lebih dari 120 tahun sehingga dianggap sebagai kelenteng tertua, bahkan satu-satunya yang ada di Lombok.

Yang membuat kelenteng ini menarik adalah keberadaan patung Dewa Chen Fu Zhen Ren. Kelenteng Pao Hwa Kong menjadi satu dari sembilan kelenteng dengan patung Dewa Chen Fu Zhen Ren. Ke-8 patung lainnya berada di Besuki, Probolinggo, Banyuwangi, Situbondo, Tabanan, Kuta, Negara dan Singaraja.

Menurut kisah, Dewa Chen Fu Zhen Ren masih memiliki keterkaitan dengan Kelenteng Sam Poo Kong yang pernah menjadi tempat singgah Laksamana Cheng Ho atau Zheng He, seorang laksamana Tiongkok yang beragama Islam di Semarang, Jawa Tengah. Adapun Chen Fu Zhen Ren merupakan arsitek yang sakti dan diandalkan oleh Cheng Ho.

Berdasarkan Legenda Watu Dodol, Ia pernah mengikuti sebuah sayembara pembuatan Taman Ayun yang diselenggarakan oleh Raja Karangasem, penguasa Bali dan Mataram kala itu. Sayembara tersebut dapat dipenuhinya hanya dalam waktu tiga hari.

Legenda tersebut kemudian tertuang dalam dokumen Melayu yang saat ini tersimpan di KITLV, Leiden, Belanda. Akan tetapi telah berhasil disalin oleh seseorang dari Kelenteng Hoo Tong Bio, Banyuwagi ketika dokumen tersebut masih ada di Buleleng, Bali, pada tahun 1880.

Chen Fu Zhen Ren juga dikenal sebagai Wainanmeng Gogzu atau kakek buyut dari Blambangan saat berada di Banyuwangi. Sosoknya dicitrakan sebagai orang tua dengan tubuh sehat, berpakaian putih, dengan rambut serta janggut panjang berwarna putih.

Tak ayal jika keberadaannya menjadi tempat untuk berkonsultasi oleh masyarakat Tionghoa, baik tentang kehidupan hingga pengobatan. Menurut umat Konghucu, tingkat akurat yang dimiliki oleh Chen Fu Zhen Ren dianggap setara dengan Gongzu atau Kongco dari Kelenteng Kwan Sing Bio.

Sebagian dari mereka yang pernah mendapat berkat dan kebaikan dari Chen Fu Zhen Ren menyematkan papan nama atau sepasang papan sajak Dui Lian di kelenteng. Hingga kemudian mereka menyembahnya sebagai Dewa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya