SOLOPOS.COM - Logo Pangestu. (Pangestu.or.id)

Solopos.com, SOLO – Penganut atau penghayat kepercayaan merupakan salah satu kelompok rentan dalam penggunaan hak suara pada Pemilu. Menjelang Pemilu, kelompok minoritas ini lebih rentan dan harus menanggung beban diskriminasi lebih berat dari publik. Karena biasanya, ketika kampanye para politikus menggunakan isu minoritas untuk mencari popularitas demi mendulang suara.

Ketua Program Studi Agama dan Lintas Budaya atau Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Samsul Maarif, mengatakan dalam sejarahnya, penghayat kepecayaan merupakan kelompok rentan dalam konteks pengakuan negara yang masih paradoks. Apalagi peraturan perundang-undangan masih mempertahankan pengelolaan agama dan kepercayaan yang tidak menyetarakan. Sehingga berimplikasi sulitnya pemenuhan hak secara penuh dari penghayat.

Promosi Program Pemberdayaan BRI Bikin Peternakan Ayam di Surabaya Ini Berkembang

“Penghayat kepercayaan enggan dan ragu menunjukkan identitasnya di KTP sebagai penghayat karena sikap negara yang paradoks. Pendidikan kepercayaan yang masih ada sejak 2016 masih belum maksimal negara menyediakan itu. Dan itu berimplikasi pada keraguan dan kekhawatiran bagi penghayat untuk mengaksesnya. Secara politik, bentuk disriminasi. Secara psikologis, sebagai penghayat itu bentuk pengabaian oleh negara terhadap hak,” terang Anchu kepada Solopos.com, Jumat (29/12/2023).

Menjelang Pemilu 2024 sendiri, kelompok penghayat tidak masuk dalam narasi politik yang dijual oleh peserta Pemilu. Tidak adanya fokus dari partai politik, calon legislatif, dan pasangan calon presiden dan wakil presiden terhadap penghayat kepercayaan, menurut Anchu akan melanggengkan sikap negra yang paradoks.

“Sulit bagi penghayat kepercayaan berharap situasi berubah karena tidak masuk dalam narasi [politik] itu. Saat ini, mereka masih fokus elektoral dan kuasa. Perhatian terhadap kelompok rentan, terutama penghayat kepercayaan lalai diperhatikan,” ujar dia.

Anchu juga menyebut momentum Pemilu 2024 menunjukkan bahwa wacana dan ruang demokrasi didominasi oleh berbagai narasi elektoral. Sayangnya narasi elektoral ini hanya berfokus pada kepentingan segelintir elite politik dan ekonomi dengan orientasi utama pada kekuasaan.

Demokrasi elektoral yang selalu diwacanakan sebagai pesta rakyat justru selalu terjebak pada aspek seremonial dan hanya mengedepankan sentimen identitas warga berbasis mayoritas-minoritas, membuat polarisasi sosial cenderung tak terhindarkan dan malah menciptakan kerentanan demokrasi.

Kenyataannya, demokrasi elektoral semakin menegaskan struktur kuasa dan dominasi serta memarginalisasi kelompok-kelompok rentan.

“Kami sempat menggelar di The 5th International Conference on Indigenous Religions (ICIR) di Javanologi UNS beberapa waktu lalu yang bermaksud membuka ruang bagi penghayat kepercayaan, komunitas adat, penganut agama leluhur, minoritas agama dan gender, kelompok disabilitas, dan kelompok muda dan anak, agar ide tentang dan pengalaman mereka terkait demokrasi terwacanakan,” ucapnya.

Demokrasi Inklusif dikembangkan untuk lebih praktis memfasilitasi proposal gagasan kelompok rentan tentang demokrasi, menyelisik demokrasi dan berbagai kerentanannya dari perspektif kelompok rentan, selain menegaskan bahwa perspektif kelompok rentan signifikan dalam demokrasi substantif, mengedepankan pergulatan keseharian warga dalam menghadapi dan menjalani kehidupan kewargaan sebagai isu utama demokrasi.

Pangestu Bukan Penghayat Kepercayaan, tapi Turut Rentan karena Dicap Sesat

Ajaran Pangestu di kalangan masyarakat masih dicap sebagai aliran kepercayaan. Bahkan, ada pula yang menganggap ajaran tersebut sesat. Pangestu sendiri merupakan organisasi masyarakat yang bergerak di pengolahan kejiwaan. Dulunya Pangestu memang dimasukkan ke dalam Himpunan Aliran Kepercayaan (HPK), tetapi lambat laun Pengurus Pusat Pangestu memilih keluar karena mereka mengklaim bukan sebagai penghayat kepercayaan.

Organisasi kemasyarakatan ini lahir pada 20 Mei 1949. Meski baru ada 1949, ajaran ilmu sejati yang menjadi akar dalam ajaran Pangestu ini muncul melalui Pakde Narto pada 14 Februari 1932 pukul 17.30 di tempat tinggalnya di Kampung Widuran, Solo, Jawa Tengah.

Oleh karena itu, Pakde Narto hingga sekarang dikenal sebagai Bapak Paranpara Pangestu. Ajaran Pangestu sendri juga mengenal Tripurusa, yakni Suksma Kawekas, Suksma Sejati, dan Roh Suci. Di Pangestu, Suksma Kawekas adalah Tuhan Sejati, Suksma Sejati adalah Penuntun Sejati, dan Roh Suci ialah Manusia Sejati. Karena adanya Tripurusa ini, masyarakat kerap menganggap Pangestu sesat. Hal tersebut pun dibenarkan oleh salah satu anggota Pangestu, Budi Prabowo.

“Adanya Tripurusa membuat masyarakat menyebut kita sesat. Bahkan, ada yang Pangestu Gusti Allah ada tiga. Di Pangestu sendiri, semua agama ada, dari Islam, Kristen, Katolik, semua ada. Pangestu juga bukan berbadan hukum. Paguyuban Ngesti Tungggal [Pangestu] itu sekelompok orang yang memiliki pemahaman sama untuk perbaikan diri dari sisi moral dan spiritual. Selain itu, punya kesamaan di dalam menjaga biar masyarakat itu bisa memahami kehidupan,” terang dia kepada Solopos.com di Solo pada Senin (11/12/2023).

Bowo menambahkan bahwa anggapan sesat tersebut tidak mengganggu Pangestu dalam berkegiatan maupun berkumpul dalam mengadakan olah rasa. Menurut Bowo, masyarakat yang menganggap Pangestu sesat banyak, tetapi mereka tidak melarang karena Pangestu tidak mengganggu. Menariknya, Pangestu memilih tidak menjelaskan dan mengklarifikasi hal tersebut, apalagi melakukan propaganda. Lagi-lagi hal tersebut dikarenakan ajaran yang mereka pahami, yakni harus welas asih.

Hal yang sama juga dijelaskan oleh Tri Nuke Pudjiastuti yang saat ini menjabat sebagai Sekjen Pengurus Pusat Pangestu. Nuke menegaskan Pangestu tidak masuk dalam aliran kepercayaan atau pun ajaran kejawen, sebagaimana anggapan masyarakat saat ini. Pangestu juga memiliki AD/ART yang berasaskan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila, dan tidak berafiliasi politik, partai politik, maupun agama apa pun.

Salah satu kegiatan Pangestu, yakni Olah Rasa yang rutin diselenggarakan. (Istimewa)

“Kita tidak masuk aliran kepercayaan, kejawen, tidak sama sekali. Maka jika ada pertemuan-pertemuan, kita tidak masuk ke mana-mana. Kami itu organisasi masyarakat pengolahan hati dan jiwa. Orang beragama apa pun ada di situ. Dia [anggota Pangestu] Islam ya bisa menjadi Islam yang baik, Kristen ya Kristen yang baik,” beber perempuan yang berprofesi sebagai peneliti politik senior di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) ini.

Dengan adanya Pangestu ini, Nuke menyebut para warga–sebutan untuk anggota Pangestu, diharapkan bisa memiliki jiwa yang tangguh, kuat, dan berwatak budi luhur. Selain itu, warga Pangestu juga bisa bersatu dengan masyarakat, bukan justru melakukan kegiatan-kegiatan spiritual yang menyalahi norma agama, seperti semedi atau menyepi.

Surat dari Pangestu: Keluar dari Aliran Kepercayaan

Di Pangestu juga diajarkan lima watak yang harus benar-benar dipegang oleh para warganya, yakni rela, nerima, sabar, jujur, sabar, dan budi luhur. Lima ajaran tersebut juga dikenal dengan Panca Sila.

Ajaran-ajaran yang dianut Pangestu itu hingga sekarang masih dianggap sesat dan masih dipercaya sebagai aliran kepercayaan. Nuke menjelaskan pihaknya telah berkirim surat kepada pemerintah untuk dikeluarkan dari aliran kepercayaan. Hal ini didasari dengan AD/ART yang Pangestu punya. Dalam AD/ART tersebut juga dijelaskan posisi Pangestu dalam negara dan menghormati semua agama, menghormati ajaran keutamaan, dan tidak boleh mencampuradukkan dengan satu hal dengan yang lain.

“Kami sempat dimasukkan [HPK], terus bersurat resmi kepada pemerintah bahwa kami tidak menjadi bagian [HPK[. Karena arah dari kegiatan kami berbeda. Kami tidak ada semedi, kita tidak ada media untuk beribadah. Itu tidak ada, arahnya berbeda. Kami percaya hanya kepada Tuhan dan utusan Tuhan,” kata Nuke.

Ketika disinggung kapan Pangestu keluar dari HPK, Nuke mengaku lupa, tetapi hanya sebentar saja masuk dalam organisasi tersebut. Namun, menurut Bowo, Pangestu sudah keluar dari HPK sejak 10-15 tahun yang lalu.



Nuke juga menegaskan keluar dari HPK bukan karena dipersekusi, dianggap sesat maupun diintimidasi. Menurut dia, anggapan sesat sudah lumrah dalam kehidupan, mereka pun menerima cap tersebut.

“Itu pasti ada, tetapi karena kami pada posisi ajaran bagaimana kita kasih sayang kepada semua orang, berusaha positif dan berbuat baik. Itu diupayakan, kita bukan terus melawan, kita enggak boleh. Karena setiap orang punya keterbatasan dalam melihat sesuatu, bisa saja karena tidak tahu, maka kita beri tahu bahwa kita bukan aliran sesat,” sebut Nuke.

Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI)–dulu HPK, menegaskan bahwa Pangestu tidak masuk dalam aliran kepercayaan. Menurut Presidium DMD MLKI Surakarta Gres Raja, sejak MLKI berdiri, Pangestu tidak masuk dalam keanggotaannya yang saat ini terdiri dari 12 aliran kepercayaan.

“Sampai saat ini Pangestu tidak masuk dalam naungan MLKI. Beberapa orang Pangestu yang saya jumpai menyatakan diri bukan Paguyuban Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sebelum MLKI kan HPK mencoba memasukkan mereka, tetapi mereka tidak mau karena mereka menyebut organisasi kerohanian dan bukan agama baru,” jelas Gres kepada Solopos.com melalui sambungan telepon pada Rabu (20/12/2023).

Menurut Gres, salah satu alasan Pangestu tidak masuk sebagai aliran kepercayaan karena ketakutan membuat aliran baru. “Yang jadi pegangan mereka sebenarnya intinya tidak jauh berbeda dengan ajaran leluhur Jawa, sebelum ada agama-agama. Karena ketakutan membuat aliran baru, mereka bukan agama. Pada masa-masa awal Pangestu, mereka dulu penghayat kepercayaan. Mungkin karena ada tekanan untuk menyelamatkan diri, mungkin ya,” sebut dia.

Tri Nuke Pudjiastuti (paling kiri) di Rapat Pengurus Pusat Pangestu. (Pangestu.or.id)

Pada kesempatan yang sama, Nuke juga menegaskan Pangestu tidak terlibat dalam kegiatan politik, apalagi menjelang Pemilu 2024. Meskipun, ada beberapa warga Pangestu berada dalam pucuk pimpinan partai politik (parpol). Dia berpesan kepada warga Pangestu yang terjun ke dunia politik, tidak membawa atribut identitas Pangestu dalam kegiatan politik mereka. Dia juga menegaskan tidak ada arahan politik kepada para warganya untuk memilih calon tertentu dalam Pemilu 2024.

“Tetapi, kami mempercayai dan meyakini bahwa setiap anggota Pangestu adalah WNI yang punya hak berpartisipasi aktif dalam kegiatan politik. Tapi tidak boleh beratribut, menyebar leaflet, pembicaraan dalam kegiatan Pangestu. Nanti bikin keributan. Kami tahu itu ada [warga Pangestu] yang daftar caleg, itu hak semua warga Indonesia. Namun, hal tersebut tidak boleh satu kata pun dibawa dalam kegiatan Pangestu,” ungkap dia.

Sebagai warga Pangestu, Bowo yang juga saat ini menjabat Koordinator Daerah Jawa Tengah (Korda Jateng) XI menyebut pihaknya juga tidak diminta oleh calon tertentu dalam Pemilu 2024 oleh Pengurus Pusat Pangestu.

“Kami tidak boleh mencampuradukkan politik dengan Pangestu. Caleg dari Pangestu ada. Dipucuk pimpinan parpol ada kita. Tetapi, kita tidak boleh mencampurkan politik dengan Pangestu,” ujar Bowo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya