SOLOPOS.COM - ilustrasi (dok)

ilustrasi (dok)

JAKARTA–Energi panas bumi dan air paling cocok untuk dikembangkan sebagai energi utama pembangkit listrik di dalam negeri, karena jumlah cadangan dua energi baru terbarukan (EBT) itu banyak tersedia.

Promosi BRI Kantor Cabang Sukoharjo Salurkan CSR Senilai Lebih dari Rp1 Miliar

Direktur  PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Nasri Sebayang mengatakan Indonesia memiliki cadangan panas bumi dan air yang besar. Karenanya, kedua energi baru terbarukan itu paling cocok untuk segera dikembangkan menggantikan bahan bakar minyak (BBM).

“Sesuai resource, yang paling cocok dan sesuai untuk dikembangkan adalah panas bumi dan air. Selain itu, energi masa depan lainnya adalah energi laut seperti arus laut dan konversi panas laut yang saat ini masih dilakukan research and development di berbagai dunia,” katanya di Jakarta, Rabu (20/3/2013).

Meski pengembangan energi panas bumi masih memerlukan investasi yang besar, Indonesia saat ini memiliki cadangan panas bumi sekitar 20.000 megawatt (MW) yang tersebar di 70 wilayah kerja pertambangan panas bumi di Tanah Air.

Cadangan tersebut terdiri dari cadangan terbukti 1.946 MW, cadangan tertunjuk 698 MW, cadangan tereka 6.467 MW dan sumber daya hipotesis 3.997 MW, serta sumber daya spekulatif sebesar 6.550 MW.

PLN sendiri telah mengoperasikan sejumlah pembangkit listrik tenaga panas bumi dengan total kapasitas 566,5 MW, sementara pengembang listrik swasta (independent power producer/IPP) telah mengoperasikan sejumlah pembangkit dengan total kapasitas 747 MW.

Hingga 2016 nanti, PLN menargetkan penambahan listrik dari panas bumi sebesar 146 MW dari pembangkit yang dikembangkan PLN dan 770  MW dari pembangkit yang dikembangkan IPP. “Kami yakin ke depannya panas bumi akan semakin berkembang seiring dengan perkembangan teknologi akan semakin murah,” katanya.

Selain itu, Nasri juga mengungkapkan penggunaan biofuel dan biomassa untuk pembangkit juga semakin menjanjikan, karena terjaminnya pasokan bahan baku. Sementara tenaga angin masih perlu dipelajari agar penggunaan pembangkit listrik tenaga angin dapat efisien untuk kapasitas listrik, karena angin di dalam negeri yang tidak konstan.

Untuk tenaga surya, lanjut Nasri, tidak cocok digunakan di Jawa dan Sumatra karena telah memiliki sistem kelistrikan yang memadai. “PLTS [pembangkit listrik tenaga surya] memang tidak cocok baik secara teknis, utamanya karena harga peralatan PLTS masih jauh lebih mahal dibandingkan dengan batu bara, gas, air dan panas bumi,” ungkapnya.

Rida Mulyana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM mengatakan untuk saat ini PLTS memang masih akan dipasang di wilayah terpencil dan terisolasi. Pemasangan PLTS itu pun hanya untuk menggantikan pembangkit listrik tenaga diesel yang berbahan bakar solar pada siang hari.

“Karena harga baterai untuk PLTS masih mahal, maka PLTS saat ini tidak menggunakan baterai. Jadi nantinya siang akan menggunakan PLTS, kalau malam tetap menggunakan PLTD. Itu kan lumayan menghemat penggunaan solar,” katanya.

Sebelumnya, Kepala Divisi Energi Baru Terbarukan PLN Muhammad Sofyan mengatakan tidak akan langsung menggantikan seluruh PLTD yang telah ada dengan PLTS. PLTD itu tetap akan disiapkan sebagai pembangkit cadangan untuk memastikan pasokan listrik di wilayah tersebut, atau digunakan secara bersamaan dengan sistem tertentu.

Hingga saat ini, kontrak perjanjian jual beli tenaga listrik (power purchase agreement/PPA) masih untuk jangka waktu 20 tahun. Pasalnya, umur PLTS hanya sekitar 20 tahun, sehingga akan terjadi penyusutan harga jika nantinya PPA dari pembangkit itu akan diperpanjang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya