SOLOPOS.COM - Antusiasme siswa siswi SMA dan SMK di Solo mengunjungi pameran seni rupa SMA, SMK dan SLB se-Kota Solo. Foto diambil Rabu (11/10/2023). (Solopos.com/Maymunah Nasution)

Solopos.com, SOLO–Membuka ruang berkreasi anak sekolah adalah bentuk upaya mengembangkan seni Indonesia ke depannya. Namun, pengkotak-kotakan usia dan seni justru membatasi kreativitas itu sendiri.

Hal ini disampaikan oleh kurator sekaligus panitia penyelenggara Pameran Seni Rupa Siswa dan Guru SMA, SMK, dan SLB se-Kota Solo, Teguh Prihadi, saat ditemui Solopos.com di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Kamis (12/10/2023). Pameran digelar selama tiga hari, Rabu-Jumat (11-13/10/2023),

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Teguh mengatakan loncatan ekspresi antara usia SMA dengan usia-usia di bawahnya sebenarnya tidak dapat dipisahkan.

“Secara ekspresi, anak-anak tidak dapat dipisah dan dikotak-kotakkan. Ekspresi anak SMA yang usianya semakin sadar akan pseudorealisme itu akan menggambarkan konsep realis dan semakin berhati-hati dengan imajinasi mereka sendiri. Ini tidak dapat dipisahkan dengan TK, SD, dan SMP yang masih memiliki keberanian juktaposisi dan transparansi tanpa ada rasa takut,” ujar Teguh.

Teguh menyayangkan penyelenggaraan pameran yang hanya terkhusus untuk usia anak SMA dan guru, karena membuat peserta terfokus pada mengalahkan kawannya dan mengurangi ruang ekspresi yang masih tersedia.

Hal tersebut, jelas dia, akan membuat anak tumbuh menjadi orang yang takut dan tidak percaya diri, dan semakin mendewakan otaknya daripada perasaan serta intuisinya.

Pameran yang terkesan hanya memberikan ruang untuk siswa SMA itu, menurut Teguh, justru memenggal perkembangan kreativitas anak-anak, padahal seharusnya pendewasaan pikiran dan rasa harus tersambung sejak usia dini.

Teguh juga menyarankan ke depannya perlu membuat pekan taman kanak-kanak raksasa atau event serupa untuk semakin menunjang kreativitas anak. Menurut dia, kesenian yang lahir dari kreativitas anak usia sekolah tidak sepatutnya dinilai baik dan buruk.

“Sering kali, penyelenggaraan acara pameran seni tidak sampai memikirkan targetnya, padahal acara-acara seperti ini memiliki efek multiplier luar biasa, menimbulkan rasa jeli anak-anak dan minat mereka untuk melukis yang bisa dia terapkan di kehidupan sehari-hari,” papar Teguh.

Teguh menyayangkan juga bagaimana seni hanya selalu diupayakan untuk dilestarikan, tetapi tidak dikembangkan. Dia juga menilai dengan pengkotak-kotakan jenis seni justru membatasi ruang imajinasi manusia.

Dia menyadari hal itu tidak terlepas dari bagaimana kapitalisme merenggut ruang kreativitas masyarakat. Teguh juga mengakui seniman tidak lebih dari manusia yang memiliki keinginan.

“Seniman juga pengen bisa punya mobil, tetapi di Indonesia malah seniman saja tidak dipercaya untuk bisa ambil cicilan mobil, padahal sekali karyanya terjual harganya bisa mengalahkan mobil, tetapi kenapa karya itu tidak bisa jadi jaminan, `kan malah menunjukkan bahwa seniman masih termarjinalkan. Sampai kapan termarjinalkan? Apakah kapitalisme akan menjamin seniman yang mengikuti selera pasar bisa dipercaya masyarakat?” tambahnya.

Pantauan Solopos.com, meskipun karya anak-anak usia SMA, SMK, dan SLB dinilai Teguh memiliki kekhasan pseudorealism, nyatanya karya-karya yang ditampilkan dalam Pameran Seni Rupa Siswa dan Guru SMA, SMK, dan SLB se-Kota Solo masih menampilkan imajinasi bebas yang tidak tercemari kesadaran akan realita.

Beberapa lukisan memiliki bentuk objek yang sengaja tidak disamakan dengan bentuk asli objek tersebut di kehidupan nyata. Banyak juga lukisan yang menggunakan referensi seni animasi seperti dunia Ghibli dari Jepang yang memperkaya khazanah kreativitas siswa.

Alat lukis dan media yang dipakai juga tidak terbatas dengan cat lukis saja, ada yang cukup berani menggunakan pensil sebagai alat penggambar utama.

Ada juga lukisan yang lahir dari kemahiran memainkan siluet untuk menggambarkan kecantikan seorang perempuan. Selain itu, sudah ada banyak lukisan yang mejeng di pameran tersebut menyajikan kreasi realis.

Guru SMKN 9 Solo, Agung Prasetya, mengaku aliran realis menjadi keunggulan lukisan-lukisan siswa SMKN 9 Solo yang ikut dipajang di pameran tersebut.

“Realis memang, tetapi macam-macam, ada flora dan fauna, juga ada karya tiga dimensi dari murid-murid dan guru kami juga,” ujar Agung saat ditemui Solopos.com tengah meninjau karya para siswanya di pameran tersebut, Rabu (11/10/2023).

Meski kebanyakan karya dari SMK N 9 mengunggulkan aliran realis, Agung mengatakan murid-muridnya bebas mengembangkannya ke mana saja, termasuk menjadikannya realis dekoratif atau ekspresif.

Agung sendiri juga memajang karya lukisannya dengan aliran surealis tentang upaya manusia mendekat kepada Allah di usia yang tidak lagi muda.

Kepada Solopos.com, dia mengaku karya tersebut lahir dari refleksi sehari-harinya dan orang-orang di sekitarnya.

Menurut Agung, seni rupa memang tidak dapat dipisahkan dari seni lainnya, bahkan dari disiplin ilmu yang lain. Hal ini karena lewat seni rupa manusia diajarkan untuk pengolahan proporsi dan komposisi yang matang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya