SOLOPOS.COM - Ilustrasi TKP pembunuhan. (Freepik.com)

Solopos.com, JAKARTA — Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, tidak sepakat dengan kasus tewasnya empat orang dari satu keluarga seusai melompat dari lantai 21 Apartemen Teluk Intan Tower Topas Penjaringan Jakarta Utara sebagai kasus bunuh diri. Dia menilai kasus tersebut perlu dicatat sebagai tindak pidana.

“Dalam pendataan polisi, dan perlu menjadi keinsafan seluruh pihak, tetap peristiwa memilukan itu seharusnya dicatat sebagai kasus pidana,” kata Reza dikonfirmasi di Jakarta, Selasa (12/3/2024).

Promosi Aset Kelolaan Wealth Management BRI Tumbuh 21% pada Kuartal I 2024

Dia menjelaskan, tindak pidana yang dimaksudkan adalah terkait pembunuhan terhadap anak dengan modus memaksa mereka melompat dari gedung tinggi.

Reza mengatakan, empat orang yang terjun dari atap apartemen itu, bisa dikatakan bunuh diri hanya jika bisa dipastikan bahwa masing-masing orang memiliki kehendak dan antarmereka ada kesepakatan (konsensual) untuk melakukan perbuatan demikian.

“Namun, ingat, pada kejadian yang menyedihkan dan mengerikan itu ada dua orang anak-anak,” katanya sebagaimana dikabarkan Antara.

Keempat anggota keluarga yang melakukan bunuh diri di Jakarta Utara itu adalah pria berinisial EA, 50, perempuan berinisial AIL, 52, dan dua anak remaja laki-laki berinisial JWA, 13, dan remaja wanita berinisial JL, 15.

Implikasi dalam kasus ini adalah bila kedua anak tersebut dianggap berkehendak dan bersepakat dalam peristiwa tersebut maka serta-merta gugur.

“Dalam situasi apapun anak-anak secara universal harus dipandang sebagai manusia yang tidak memberikan persetujuan bagi aksi bunuh diri,” jelasnya.

Reza menganalogikan, hal ini dengan aktivitas seksual. Dari sudut pandang hukum, anak-anak yang terlibat dalam aktivitas seksual harus selalu diposisikan sebagai individu yang tidak ingin dan tidak bersepakat melakukan aktivitas seksual.

Siapapun orang yang melakukan aktivitas seksual dengan anak-anak, kata Reza, secara universial selalu diposisikan sebagai pelaku kejahatan seksual.

“Anak-anak secara otomatis berstatus korban,” ujar Reza menerangkan.

Jika ditarik kembali ke kasus terjun bebas di Jakarta Utara tersebut, kata dia, terlepas kedua anak dalam kasus tersebut mau atau tidak mau, setuju atau tidak setuju, tetap saja mereka harus diposisikan sebagai orang yang tidak mau dan tidak setuju.

Aksi terjun bebas tersebut, kata Reza, mutlak harus disimpulkan sebagai tindakan yang tidak mengandung konsensual (kesepakatan).

“Karena tidak konsensual, maka anak-anak itu harus disikapi sebagai manusia yang tidak berkehendak dan tidak bersepakat, melainkan dipaksa untuk melakukan aksi ekstrim tersebut,” ujarnya.

Atas dasar itulah dengan esensi pada keterpaksaan tersebut, anak-anak itu sama sekali tidak bisa dinyatakan melakukan bunuh diri. Karena, mereka dipaksa melompat, maka mereka justru menjadi korban pembunuhan.

“Pelaku pembunuhnya adalah pihak yang–harus diasumsikan–telah memaksa anak-anak tersebut untuk melompat sedemikian rupa,” katanya.

Kasus ini kata Reza, berubah tidak lagi semata-mata bunuh diri dan pembunuhan. Tapi polisi tidak bisa memproses lebih lanjut karena terduga pelaku sudah tewas.

“Indonesia tidak mengenal proses pidana terhadap pelaku yang sudah mati (posthumous trial),” kata Reza.

Empat anggota keluarga terdiri atas ayah, ibu dan dua orang anak ditemukan sudah tidak bernyawa oleh petugas keamanan di lobby apartemen pada Sabtu (9/3/2024).

Saat ditemukan, keempat korban mengalami luka berat di bagian kepala, tangan, dan kaki. Polisi menemukan ikatan tali yang putus pada tangan keempat korban, diduga tali tersebut terikat pada tangan sebelum melakukan aksi bunuh diri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya