SOLOPOS.COM - Pendiri Yayasan Gema Salam dan eks napi terorisme, Jack Harun. (Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Pendiri Yayasan Gema Salam sekaligus eks narapidana terorisme, Joko Trihermanto, mengatakan paham radikalisme dan terorisme sekarang bisa tersebar melalui sosial media dan menyasar anak muda. Dia menganggap perlu adanya edukasi berupa literasi digital untuk mencegah hal itu.

“SMP [ke atas] itu sudah masuk generasi muda, ya. Mereka lebih banyak memegang handphone untuk berselancar di dunia maya. Nah ini yang kita khawatirkan di situ. Mereka bisa mengklik di media sosial. Saya cermati banyak dari teman-teman ini terpapar lewat sosial media,” ujar dia kepada Solopos.com, Selasa (21/2/2023).

Promosi BRI Meraih Dua Awards Mobile Banking dan Chatbot Terbaik dalam BSEM MRI 2024

Dia membandingkan dengan generasi lalu, yang mendapatkan paham radikalisme secara langsung. Jack Harun, sapaan akrabnya, bercerita dulu generasinya dibina sejak kecil dan didoktrin untuk ikut kelompok tertentu.

“Teman-teman ini kan mendapat semangat [jihad yang salah] dari sosial media. Beda kalau dulu dengan doktrin secara langsung,” jelas dia.

Menurut dia, salah satu yang perlu diwaspadai adalah pertemanan melalui sosial media dengan orang asing. “Kemudian mereka mencoba mencari pertemanan [lewat sosial media], yang dalam artian mungkin dilihat dari profil itu seperti orang yang saleh. Makanya sering saya bilang hati-hati untuk mengklik pertemanan di sosial media,” kata dia.

Joko mengatakan melalui pertemanan di sosial media itu, beberapa orang terkecoh dengan tampilan yang terlihat baik. Menurut dia, pada mulanya hanya diberikan nasihat-nasihat baik, namun lambat laun bisa didoktrin melalui isu tertentu.

“Kan sering banyak kasus lewat pertemanan sosial media, kita kemudian didoktrin semakin jauh. Akhirnya apa yang dikatakan oleh orang yang ada di dalam sosial media itu kita mengikutinya. Kita sudah tercuci otaknya, kita sudah terdoktrin, kemudian apapun perintahnya kita akan mengikutinya. Dan ini memang rawan sekali di sosial media hari ini,” jelas dia.

Selain itu, dia menjelaskan kelompok radikal biasanya masuk melalui konten yang memprovokasi orang melalui isu yang sedang panas di media sosial.

“Misalnya dulu ada isu pilpres, kemudian ada isu ketidakadilan, ada kezaliman di mana gitu. Makanya mereka itu sering menggunakan berita-berita konflik. Kalau ada konflik mereka mesti masuk ke situ, mereka mesti menunggangi,” jelas dia.

Paham radikal yang tersebar di sosial media, menurut dia, pada akhirnya bertujuan menolak dan menyalahkan negara karena tidak sesuai syariat. “Nanti ujung-ujungnya ya ini adalah kesalahan negara yang tidak berpihak ke umat Islam, yang tidak memberi ruang pada umat Islam, umat Islam selalu dikerdilkan, umat Islam selalu disalahkan,” imbuh dia.

Apalagi kini konten sosial media diatur oleh algoritma yang mengarahkan pengguna untuk mengonsumsi konten yang sesuai dengan yang disukai. “Kalau hari ini mengklik jihad, besok kita ya disodori jihad. Kalau temen-temen membuka kasus Bosnia atau membuka kasus Palestina besok mereka akan disodori dengan itu,” tutur dia.

Namun, dia menyarankan untuk tidak melawan algoritma sosial media. Baginya yang perlu dilakukan adalah memperbanyak konten-konten edukatif yang bisa melawan narasi radikalisme atau terorisme.

Mantan teroris bom Bali itu juga menambahkan perlunya literasi digital. “[Lewat] literasi digital, kita mengkampanyekan bahwa sosial media yang kita punya bisa juga untuk kebaikan,” kata dia.

Menurut dia, sejauh ini banyak dari kelompok-kelompok radikal dan terorisme menggunakan sosial media untuk kampanye. “Hari ini kita juga bisa melakukan itu dengan cara apa, ya kita membuat konten yang positif untuk meng-counter kampanye mereka,” papar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya