Solopos.com, SEOUL -- Otoritas Korea Selatan memberlakukan larangan ekspor senjata ke Myanmar yang kini dikuasai junta militer. Selain itu kerja sama pertahanan juga dihentikan sementara setelah militer menindak demonstran dengan kekerasan.
Seperti dilansir Reuters, Jumat (12/3/2021), Kementerian Luar Negeri Korea Selatan dalam pernyataannya mengumumkan bahwa otoritas Korsel akan membatasi ekspor barang-barang strategis lainnya dan mempertimbangkan kembali bantuan pembangunan untuk Myanmar.
Promosi BRI Group Berangkatkan 12.173 Orang Mudik Asyik Bersama BUMN 2024
Tidak hanya itu, Korsel juga mengumumkan akan memberikan pengecualian atas dasar kemanusiaan bagi warga Myanmar. Yakni mengizinkan mereka tinggal di Korsel hingga situasinya membaik.
"Meskipun ada tuntutan berulang dari komunitas internasional, termasuk Korea Selatan, terjadi peningkatan jumlah korban di Myanmar akibat tindak kekerasan dari militer dan polisi," demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Korea Selatan.
Baca juga: Vaksin AstraZeneca Masuk Indonesia, 2 Negara Eropa Justru Setop Peggunaannya
Ekspor pertahanan terakhir dari Korsel ke Myanmar terjadi tahun 2019. Namun menurut Inisiatif Transparansi Bantuan Internasional, otoritas Korsel masih menghabiskan jutaan dolar Amerika untuk proyek pembangunan di sana.
Disebutkan dalam pernyataan Kementerian Luar Negeri Korsel bahwa pemerintahan Korea Selatan akan mempertimbangkan kembali sejumlah kerja sama pembangunan dengan Myanmar. Tidak disebutkan lebih lanjut kerja sama yang dimaksud.
Namun Korsel akan melanjutkan proyek-proyek yang secara langsung terkait mata pencaharian warga Myanmar dan bantuan kemanusiaan.
Baca juga: Negara Tertua di Dunia Ini Tak Punya Hari Kemerdekaan
Demonstran antikudeta Myanmar kembali menggelar aksi protes pada Jumat (12/3) waktu setempat. Sehari sebelumnya, sedikitnya 12 demonstran tewas tertembak saat pasukan keamanan menindak keras unjuk rasa antikudeta.
Negara tersebut berada dalam krisis sejak militer melengserkan pemerintahan sipil yang terpilih secara demokratis dan dipimpin oleh Aung San Suu Kyi pada 1 Februari lalu. Suu Kyi dan sejumlah pejabat lainnya masih ditahan hingga kini.
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) sebelumnya merilis pernyataan bersama yang isinya mengecam tindak kekerasan militer Myanmar terhadap para demonstran yang beraksi secara damai.