SOLOPOS.COM - Sejumlah warga eks-Gafatar meninggalkan permukiman mereka yang dibakar massa saat hendak dievakuasi dari kawasan Monton Panjang, Dusun Pangsuma, Desa Antibar, Mempawah Timur, Kabupaten Mempawah, Kalbar, Selasa (19/1/2016). Permukiman di lahan seluas 43 hektar tersebut dibakar sejumlah oknum masyarakat sebelum 796 warga eks-Gafatar berhasil dievakuasi pemda setempat. (JIBI/Solopos/Antara /Jessica Helena Wuysang)

Orang hilang membuat ormas Gafatar disorot dan ribuan anggotanya dipulangkan ke Jawa.

Solopos.com, JAKARTA — Anggota ormas Gafatar yang terusir dari lahan mereka di Kalimantan, termasuk yang dibakar massa di Mempawah, Kalimantan Barat, belum lama ini, dinilai hanya menjadi korban. Justru seharusnya negara menjamin hak setiap warga negara untuk tinggal mencari penghidupan, apalagi mereka tak membebani keuangan negara.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Sosiolog Musni Umar menyebut mereka sebagai korban amarah masyarakat yang timbul akibat pemberitaan buruk tentang ormas Gafatar. Sorotan terhadap ormas ini terutama muncul setelah hilangnya dokter Rica Tri Handayani yang dikaitkan dengan eksodus Gafatar ke Kalimantan dan diberitakan besar-besaran.

“Sebenarnya mereka ini kan transmigrasi, swakarsa lagi, pemerintah tidak mengeluarkan apapun. Tapi karena dokter Rica hilang dan kemudian pemberitaan luar biasa, masyarakat di sana jadi bereaksi,” kata Musni dalam dialog yang ditayangkan Kompas TV, Minggu (24/1/2016) petang.

Masyarakat setempat juga bereaksi karena ormas ini dinilai membawa ajaran yang menyimpang. Tapi, menurutnya, hal ini tidak bisa jadi alasan untuk mengusir seseorang. “Secara ideologis, Gafatar itu kenapa ditolak, karena ajaran sesat, tidak usah haji, tidak usah sembahyang, [tapi] soal ideologi ini kan yang harus diluruskan, jadi sesungguhnya mereka itu korban,” kata Musni.

Karena itu, dia menyebut pemulangan anggota Gafatar ke kampung halaman di Jawa tidak menyelesaikan persoalan. Pasalnya, ada persoalan ekonomi yang segera mereka hadapi begitu mereka sampai di Jawa.

“Mereka tak boleh [diusir] hanya karena ini. Kampungnya dibakar dan dipulangkan, jadi mereka tak ada masa depan. Saya bayangkan pasti mereka mengalami persoalan ekonomi, tidak ada pekerjaan, tidak ada penghasilan, anak mereka sekolah dari mana?” Menurutnya, memang lebih baik jika pemerintah membiarkan mereka bertahan di sana dan mendorong mereka memberikan sumbangan bagi negara.

Sebelumnya, banyak anggota Gafatar yang menolak upaya pemulangan ratusan hingga ribuan orang dari Kalimantan ke Pulau Jawa. Mereka punya alasan untuk menolak kembali ke kampung halaman. Eks pengurus Gafatar mengeluarkan petisi penolakan mereka untuk hengkang dari Pulau Borneo. Pasalnya, ribuan eks anggota Gafatar tersebut harus meninggalkan sumber penghidupan dan ekonomi yang sudah mereka bangun di Kalimantan.

Sementara di Jawa, mereka mengklaim tidak lagi memiliki sumber penghasilan, dan justru akan jadi beban pemerintah. Belum lagi, mereka menghadapi potensi penolakan dan stigmatisasi dari warga daerah asal eks anggota Gafatar di Jawa, bila mereka kembali.

“Kami menyesalkan peristiwa ini, sebab mantan anggota Gafatar berada di beberapa wilayah di Kalimantan Barat hanya untuk bertani,” terang mantan pengurus Gafatar sekaligus juru bicara warga eks Gafatar, Wisnu Windhani, dalam siaran pers, Rabu (20/1/2016).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya