SOLOPOS.COM - JIBI/SOLOPOS/Dwi Prasetya PARSEL BUAH--Parsel buah di display di toko buah Bu Yatmi Pasar Gede, Solo, Selasa (23/8/2011). Parsel tersebut dijual dengan harga Rp. 50.000 sampai dengan Rp. 200.000 tergantung ukuran dan jenis buah. (JIBI/SOLOPOS/Dwi Prasetya)

JIBI/SOLOPOS/Dwi Prasetya PARSEL BUAH--Parsel buah di display di toko buah Bu Yatmi Pasar Gede, Solo, Selasa (23/8/2011). Parsel tersebut dijual dengan harga Rp. 50.000 sampai dengan Rp. 200.000 tergantung ukuran dan jenis buah. (JIBI/SOLOPOS/Dwi Prasetya)

Solo (Solopos.com)–Larangan pejabat dan instansi pemerintah mengirim dan menerima parcel membuat omzet pedagang buah jeblok.

Promosi Efek Ramadan dan Lebaran, Transaksi Brizzi Meningkat 15%

Gara-gara kebijakan itu, 90%-95% pemesanan parcel yang biasanya menumpuk jelang Lebaran, kini hilang. Pedagang buah di Pasar Gede, Tini, mengatakan kalangan pegawai dan instansi pemerintah sering menjadi tujuan pengiriman parcel.

Mereka juga biasa memesan parcel buah untuk dikirim kepada kolega. Pemesanan dimulai sejak pertengahan Ramadan sampai H-1 Lebaran. Dengan kebijakan larangan mengirim dan menerima parcel, pemesanan parcel buah kini hanya berasal dari rumah tangga.

“Kontribusi pemesan parcel dari rumah tangga paling hanya 10%. Sisanya, minimal 90% dari instansi. Kalau instansi dilarang ya sudah, yang semula saya bisa jual 20-30 parcel, sekarang hanya dua parcel per hari. Itu pun dari pribadi untuk dikirim ke kerabatnya,” terang Tini, saat ditemui wartawan, di kiosnya, Selasa (23/8/2011).

Hal senada diakui pedagang lain, Yamti. Pemilik kios buah Sari Buah ini mengaku gara-gara pembatasan parcel omset dari penjualan parcel selama Lebaran turun sampai 95%.

Pembeli dari kalangan pribadi, kata dia, rata-rata hanya memberi kontribusi 5% sehingga lebih banyak omset hilang akibat larangan tersebut. Saat ini, dia lebih bergantung pada penjualan buah meja yang biasanya disajikan saat momen kumpul dengan keluarga di hari Lebaran.

Anjloknya omset pedagang buah di Solo, sambung dia, berkebalikan dengan kondisi pedagang buah di kabupaten tetangga, Sragen. “Kalau di Sragen, karena parcel diizinkan, pedagang buah di sana tetap bisa panen,” ujar Yamti.

Selain dalam hal jumlah, hilangnya pembeli parcel dari kalangan instansi juga membuat nilai parcel yang dipesan turun. Menurut dia, kalangan instansi biasanya memesan parcel dengan nilai antara Rp 100.000 sampai Rp 200.000. Sementara kalangan pribadi alias rumah tangga umumnya menginginkan parcel dengan harga mulai Rp 50.000

(tsa)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya