SOLOPOS.COM - Anggota Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM bersama sejumlah LSM di Jogja membentangkan poster kecaman terkait peristiwa penyiraman air keras yang menimpa penyidik KPK Novel Baswedan di Kantor Pukat UGM, Selasa (11/4/2017). (JIBI/Solopos/Antara/Andreas Fitri Atmoko)

Teror terhadap Novel Baswedan membuat pemeritah didesak memberikan prosedur perlindungan bagi aparat penegak hukum.

Solopos.com, JAKARTA — Kasus penyiraman air keras kepada penyidik senior Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan dapat menjadi dasar bagi pemerintah untuk membuat prosedur khusus terkait perlindungan terhadap aparat penegak hukum.

Promosi BRI Dipercaya Sediakan Banknotes untuk Living Cost Jemaah Haji 2024

Supriyadi Widodo Eddyono, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), mengatakan kasus kekerasan yang menimpa Novel Baswedan bukan yang pertama kali dialami oleh penegak hukum. Untuk itu, diperlukan prosedur khusus terkait perlindungan aparat penegak hukum yang menangani kasus dengan risiko tinggi.

“Kasus Novel dapat menjadi momentum bagi pemerintah untuk menyusun kebijakan yang mengatur perlindungan bagi penegak hukum dalam kasus tertentu yang memiliki potensi ancaman kekerasan,” katanya, Selasa (11/4/2017).

Supriyadi menuturkan perlindungan yang harus dipastikan kepada aparat penegak hukum harus mencakup perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik dan mental, kerahasiaan identitas, dan pemberian keterangan saat pemeriksaan. Selain itu aparat penegak hukum seharusnya bisa memberikan keterangan tanpa bertatap muka dengan tersangka di pengadilan.

Menurutnya, saat ini hanya Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang memberikan perlindungan kepada aparat penegak hukum yang menangani kasus tertentu. Padahal, beberapa aparat penegak hukum juga menangani kasus dengan risiko ancaman yang cukup tinggi.

“Tidak menutup kemungkinan di setiap instansi penegak hukum memiliki prosedur khusus untuk anggotanya yang menghadapi ancaman serius terkait kasus yang ditanganinya. Akan tetapi tidak ada basis kebijakan yang kuat, dan rentan menjadi persoalan,” ujarnya.

ICJR mencatat selain Novel, Pada 26 Mei 2004 Jaksa Ferry Silalahi yang ditembak mati oleh orang yang terkait dengan perkara terorisme yang sedang ditanganinya. Kemudian pada 26 Juli 2001 Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita dibunuh oleh pihak yang terbukti memiliki kaitan dengan perkara yang ditanganinya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya