SOLOPOS.COM - Gedung Mahkamah Konstitusi. (mkri.go.id)

Solopos.com, JAKARTA — Gugatan tujuh kepala daerah terhadap sebagian UU Pilkada mengenai tafsir masa jabatan 5 tahun dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). MK mengabulkan gugatan terkait uji materi Pasal 201 ayat (5) Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan dalam sidang putusan yang diikuti secara daring dari Jakarta, Kamis (21/12/2023), dilansir laman resmi MK.

Promosi Kuliner Legend Sate Klathak Pak Pong Yogyakarta Kian Moncer Berkat KUR BRI

MK menyatakan Pasal 201 ayat (5) UU Nomor 10 Tahun 2016 yang mengatur bahwa “gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota hasil pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023” bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

Dengan adanya putusan ini, maka norma pasal dimaksud selengkapnya berbunyi “Gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota hasil pemilihan dan pelantikan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023; dan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota hasil pemilihan tahun 2018 yang pelantikannya dilakukan tahun 2019, memegang jabatan selama 5 tahun, terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati 1 bulan sebelum diselenggarakannya pemungutan suara serentak secara nasional tahun 2024”.

Permohonan yang teregister dengan Perkara Nomor 143/PUU-XXI/2023 itu diajukan oleh Emil Dardak, Gubernur Maluku Murad Ismail, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto, Wakil Wali Kota Bogor Dedie A. Rachim, Wali Kota Gorontalo Marten A. Taha, Wali Kota Padang Hendri Septa, dan Wali Kota Tarakan Khairul.

Para pemohon terpilih sebagai kepala daerah dari hasil pemilihan pada 2018 dan baru dilantik pada 2019. Mereka merasa dirugikan dan dilanggar hak konstitusionalnya sebagai kepala daerah karena masa jabatannya terpotong atau tidak penuh 5 tahun.

Pada pertimbangannya, MK dapat melihat kerugian konstitusional yang dialami oleh para pemohon berupa pemotongan masa jabatan bagi kepala daerah/wakil kepala daerah yang dipilih pada 2018 tetapi baru dilantik pada 2019 karena menunggu berakhirnya masa jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah sebelumnya.

Menurut mahkamah, ketentuan norma Pasal 201 ayat (5) UU Nomor 10 Tahun 2016 ternyata menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidakadilan, dan memberikan perlakuan berbeda di hadapan hukum sebagaimana yang didalilkan oleh para pemohon.

“Pokok permohonan para pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian,” kata Suhartoyo membacakan konklusi.

Atas putusan ini, Hakim MK Daniel Yusmic P. Foekh menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Menurut Daniel, Pemohon I Murad Ismail, Pemohon II Emil Dardak, Pemohon V Marten A. Taha, dan Pemohon VII Khairul tidak memiliki kedudukan hukum.

“Dan seharusnya dalam amar putusan mahkamah menyatakan permohonan Pemohon I, Pemohon II, Pemohon V, dan Pemohon VII tidak dapat diterima,” demikian Daniel dikutip dari salinan putusan yang diunduh dari laman web resmi MK RI.

Dilansir Antara, Wali Kota Bogor Bima Arya menyebut, berdasarkan catatannya, hampir 50 kepala daerah, terdiri atas gubernur, bupati atau wali kota yang akan bertugas sampai di ujung masa jabatan, yang berarti mengembalikan hak warga untuk memastikan kepala daerah bertugas sesuai masa jabatan.

“Dan saya mengajak kepada semua kepala daerah yang akan bertugas sampai 2024 terus berikhtiar mulai memberikan yang terbaik demi warga sampai di ujung masa jabatan sampai titik keringat penghabisan kita berikan yang terbaik pelayanan yg terbaik sesuai janji kampanye kita 5 tahun yang lalu,” katanya.

Menurut Bima, keputusan Mahkamah Konstitusi adalah keputusan tertinggi, sehingga atas putusan itu ia akan bertugas di ujung masa jabatan. Salah satu alasan putusan MK mengabulkan gugatan masa jabatan kepala daerah, kata Bima, karena tidak mengganggu kesertaan.

Di sisi lain, ada juga catatan dari MK bahwa jabatan berlanjut maksimal sampai lima tahun atau maksimal satu bulan sebelum pemungutan suara di Pilkada serentak 2024.

“Artinya Pilkada di 5 November maka di Oktober sudah harus diganti atau pilkada yang dimajukan di September maka bulan Agustus sudah harus diganti. Tapi tidak ada yang sampai di Oktober, tapi kalau sampai di September saya kira ada setengah, kalau enggak salah. Tapi nanti kita cek lagi,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya