Bisnis.com, JAKARTA – Praktik lancung para mafia tambang mengeruk hasil bumi, termasuk di Indonesia, hingga Rp4.000 triliun per tahun.
Para mafia tambang tersebut lantas bermanuver dengan berbagai modus perdagangan untuk pencucian uang.
Promosi Safari Ramadan BUMN 2024 di Jateng dan Sulsel, BRI Gelar Pasar Murah
Fakta miris itu diungkap Financial Action Task Force (FATF) dalam kajian yang berjudul Money Laundering From Enviromental Crime.
Dikutip Bisnis.com, lembaga antipencucian uang global itu menyebut kejahatan sektor lingkungan tersebut mengeruk US$110 sampai dengan US$281 miliar (lebih dari Rp4.000 triliun kurs Rp14.271,9 per dolar Amerika Serikat) setiap tahunnya.
Berbasis Perdagangan
Studi FATF menegaskan bahwa pelaku kejahatan lingkungan sering mengandalkan sektor padat uang (sering dikaitkan ke sektor ekspor) dan penipuan berbasis perdagangan untuk mencuci hasil dari kejahatan lingkungan.
Dalam kasus pembalakan liar dan penambangan liar, misalnya, sejumlah negara telah mengidentifikasi ketergantungan para pelaku kejahatan dengan perusahaan cangkang di negara suaka pajak.
Baca Juga: Round Up Luhut vs Haris Azhar: Buka Keterlibatan Jenderal Lain, Bakal Berbuntut Panjang
Modus transaksinya biasanya melibatkan pihak ketiga dan perantara (pengacara) untuk menyembunyikan pembayaran dan pencucian keuntungan.
Seluruh Dunia
FATF juga mengendus adanya peran pusat keuangan regional yang terletak di seluruh wilayah di dunia.
Mereka memainkan peran penting dalam menyediakan dana dan mencuci hasil uang dari hasil kejahatan tersebut.
“Mereka juga dapat bertindak sebagai perantara perdagangan untuk memfasilitasi kedatangan, terutama untuk barang tambang,” tukasnya.
Baca Juga: Santri-Kiai Grobogan Meninggal Tenggelam di Lubang Bekas Galian C Akibat Kepeleset Saat Cuci Kaki
Adapun dalam konteks Indonesia, Bisnis mengungkap praktik ekonomi ilegal, termasuk kejahatan lingkungan, telah menekan kinerja perekonomian Indonesia.
BPS menyebut besaran shadow economy (ekonomi tersembunyi) di Indonesia berada di kisaran 8 persen sampai 10 persen dari produk domestik bruto.
Sementara PPATK menganggap angka BPS itu sangat konservatif, karena jika mengacu ke kajian sejumlah lembaga internasional, nilai atau besaran ekonomi ilegal mencapai 30 persen sampai 40 persen dari PDB.