SOLOPOS.COM - Ilustrasi beragam media sosial. (advisorwebsites.com)

Solopos.com, SOLO — Pantauan media (media monitoring) yang dilakukan Solopos Institute selama Agustus–September 2023 bukan hanya menunjukkan penggunaan isu penistaan agama dan radikalisme untuk menyudutkan lawan politik.

Ada kebiasaan buruk sebagian masyarakat menggunakan kelompok lain—khususnya minoritas—untuk melampiaskan kebencian.

Promosi Siasat BRI Hadapi Ketidakpastian Ekonomi dan Geopolitik Global

Pada Agustus 2023, sebuah kabar dari Kota Jogja menyeruak dan menjadi bahan perbincangan secara nasional. Seorang mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menjadi korban mutilasi.

Bukan kasus pembunuhannya yang disoal oleh publik, melainkan tudingan bahwa korban memiliki orientasi seksual sesama jenis. Dalam berbagai pemberitaan, orientasi seksual itu dianggap perilaku menyimpang.

Frase “perilaku menyimpang” kerap menjadi alat untuk menyudutkan kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di Indonesia.

Di media sosial, LGBT kerap disudutkan bersama kelompok minoritas lainnya. Upaya penyudutan itu bisa melalui cap “LGBT”, “bencong”, dan lainnya.

“RoGe atau RH….. Tahi kah [tahukah] kamu statement si Bencong itu dulu bhw Kitab Suci adalah Fiksi? Agama nya si Bencong ini apa? Lucu nya kamu n kadrun malah muji orang yg bilang Kitab Suci adalah Fiksi. Akal sehat mu?” kicau pengguna akun AB di X.

Kicauan itu menyerang Rocky Gerung, komentator politik yang kerap mengkritik pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Ada dua label yang ditempelkan pada Rocky Gerung dan penggemarnya, yaitu “bencong” dan “kadrun”—akronim dari “kadal gurun” yang kerap dijadikan label untuk para oposan dan kelompok yang dianggap radikal.

Kelompok LGBT bukan satu-satunya minoritas yang dijadikan alat untuk memberikan label negatif kepada kelompok lain.

Labeling untuk PKI

Dalam percakapan-percakapan yang termasuk dalam topik diskriminasi keagamaan, label lainnya yang bermunculan adalah “PKI” atau Partai Komunis Indonesia dan “kafir” yang merujuk pada pemeluk agama minoritas.

Label-label ini muncul dalam konten tentang sejarah G30S PKI, konten hiburan, hingga aksi demonstrasi Persaudaraan Aksi (PA) 212 di Jakarta memprotes kekerasan oleh aparat di Pulau Rempang, Batam, September 2023.

Tidak ada kaitan antara kasus kekerasan dalam penggusuran di Pulau Rempang dengan isu keagamaan. Namun, aksi PA 212 menyertakan isu-isu diskriminatif terkait identitas agama seperti menyinggung nama Luhut Binsar Pandjaitan dengan sebutan “kafir”.

Sedangkan isu G30S PKI merupakan isu tahunan yang muncul dalam berbagai konten media mainstream maupun media sosial menjelang akhir September.

Kebanyakan konten terkait isu G30S PKI membangkitkan kembali “hantu” komunisme yang menjadi alat diskriminasi selama Orde Baru.

Misalnya konten Tribun Video tentang anak-anak Jenderal Anumerta Ahmad Yani yang menggugat Inpres No. 2/2023, Keppres No. 17/2022, dan Keppres No. 4/2023. Beleid itu intinya mengakui kesalahan atas pelanggaran HAM berat dalam peristiwa G30S PKI pada 1965 dan 1966.

Isu PKI bukan semata muncul karena dekatnya 30 September 2023 yang sejak Orde Baru dinyatakan sebagai hari peringatan pemberontakan G30S/PKI.

Isu itu juga digunakan untuk mendiskreditkan perlawanan warga Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, terhadap pemerintah dan polisi dalam sengketa lahan di pulau itu.

Mencuatnya labelisasi warga Rempang dengan “PKI” terutama terjadi pada 25 September 2023.

Labelisasi itu muncul melalui konten di kanal Youtube Revolusi Ahklaq Official dengan judul G4WAT… AKHIRNYA DOSEN SENIOR UI B0NGK4R OPR4SI SENYAP ANAK CUCU PKI DIBALIK ISU REMPANG.

Konten ini mendapatkan interaksi atau engagement dari 2.657 akun.

Hasil pemantauan media Solopos Institute ini sejalan dengan temuan dalam sigi Lembaga Survei Indonesia (LSI) di DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur pada 16–29 Mei 2022.

Salah satu hasil survei yang mengukur dukungan terhadap ekstremisme ini menunjukkan kelompok-kelompok minoritas menjadi sasaran kebencian.

Saat ditanya kelompok agama apa yang tidak disukai, mayoritas atau 78,2% responden mengaku tidak ada kelompok agama yang tidak mereka sukai.



Sebagian kecil lainnya (11,2%) menyatakan tidak menyukai penganut aliran kepercayaan, 5,1% tidak menyukai pemeluk Kong Hu Chu, 3% tidak menyukai pemeluk Buddha, 2,1% tidak menyukai pemeluk Katolik, 2% tidak menyukai pemeluk Kristen, dan 1,8% tidak menyukai pemeluk Hindu.

Total ada 27,5% responden yang tidak menyukai kelompok agama lain.

Dari mereka yang tidak suka, umumnya mengaku keberatan kelompok agama lain menjadi bupati/wali kota, menjadi guru sekolah negeri, menggelar acara keagamaan, hingga membangun tempat ibadah.

Terhadap etnis lain, mayoritas atau 84,7% mengaku tidak ada yang tidak mereka sukai.

Namun, masih ada 8,8% yang tidak menyukai etnis Tionghoa, 3,5% tidak menyukai orang Batak, 2% tidak menyukai orang Madura, dan sebagian kecil lainnya tidak menyukai beberapa etnis lain.

Tingkat ketidaksukaan responden menjadi jauh lebih tinggi terhadap kelompok minoritas lain seperti lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT); komunis; ateis; Syiah, Wahabi, dan Ahmadiyah.

Hanya 28.2% yang mengaku tidak ada kelompok minoritas lain yang tidak disukai. Umumnya mengaku ada kelompok yang tidak disukai. Ketidaksukaan tertinggi muncul terhadap kelompok LGBT+, yakni 38,5%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya