SOLOPOS.COM - Pertunjukan cerita rakyat balung buto di Sangiran, Sragen. (Istimewa)

Solopos.com, SOLO–Cerita rakyat menjadi salah satu tradisi lisan di masyarakat yang diceritakan secara turun-temurun. Cerita itu terkadang mengandung asal muasal satu daerah.

Namun, lebih jauh lagi cerita rakyat sebetulnya menyimpan nilai kebaikan, gagasan, pelajaran, hingga yang paling penting menyimpan ingatan.

Promosi BRI Sukses Jual SBN SR020 hingga Tembus Rp1,5 Triliun

Hampir sebagian besar daerah di Indonesia memiliki cerita rakyat. Salah satunya adalah cerita tentang tulang raksasa yang ada di sebuah kawasan yang disebut sebagai Sangiran. Kawasan yang mencakup daerah Karanganyar dan Sragen itu terpendam tulang-tulang raksasa.

Sangiran dikenal sebagai kawasan situs arkeologi di Jawa, Indonesia. Sangiran juga diakui oleh para ilmuwan sebagai salah satu situs yang paling penting di dunia untuk mempelajari fosil manusia.

Pamong Budaya Situs Sangiran, Wahyu Widiyanta, belum lama ini bercerita memori kolektif masyarakat sekitar, terutama generasi tua, berpikiran bahwa tulang-tulang berukuran besar di kawasan Sangiran merupakan buto yang pernah hidup di zaman dulu.

Sebetulnya cerita soal balung buto bisa ditelusuri di Museum Purbakala Klaster Manyarejo di Dukuh Manyarejo, Kecamatan Plupuh, Sragen. Di museum itu terdapat sejumlah dokumen yang mengisahkan legenda balung buto.

Cerita berawal di kawasan hutan berbukit terdapat kerajaan yang dipimpin Raden Bandung. Hutan itu tidak terlalu subur namun rakyatnya tetap bisa hidup dengan menekuni bidang pertanian dan peternakan. Rakyat hidup dengan nyaman dan damai.

Namun, kenyamanan dan kedamaian itu terganggu setelah kedatangan raksasa dalam jumlah banyak. Raksasa itu dipimpin oleh Tegopati. Rakyat pun ketakutan dan berucap,

“Ana buta, ana buta.” Istilah Buta atau Buto dalam masyarakat Jawa digunakan untuk menyebut raksasa jahat yang hendak mencelakakan.

Benar saja, para buto memang ingin mengambil tanah kerajaan. Melihat niat jahat itu akhirnya Raden Bandung memimpin dan mengerahkan pasukan untuk melawan para buto. Namun nahas, Raden Bandung malah kalah.

Meski kalah, Raden Bandung ternyata berhasil menyelamatkan diri meski penuh luka. Dia bersembunyi sekaligus bertapa di hutan. Di kemudian hari, hutan itu kemudian menjadi tempat tinggal rakyat dengan nama Dukuh Tapan, Desa Cangkol, Kecamatan Plupuh.

Ketika sudah cukup lama bertapa, Raden Bandung akhirnya mendapat wangsit supaya menyelami telaga yang dikelilingi pohon beringin. Konon, telaga itu dulunya berlokasi di Dusun Kedung Wringin, Desa Bukuran, Kalijambe, Sragen.

Singkatnya Raden Bandung kemudian bertemu dengan Dewa Ruci di telaga itu. Kemudian Raden Bandung diperintahkan mengasah kukunya yang panjang di batu yang kemudian dijadikan sebagai senjata untuk memerangi para buto.

Ternyata peristiwa itu juga berkaitan dengan nama desa di Sangiran. Sebab dalam bahasa Jawa mengasah dengan batu dikenal dengan istilah sangir. Nama sangir kemudian digunakan untuk menyebut nama Dukuh Sangiran di Desa Krikilan, Kalijambe.

Alhasil, Raden Bandung yang memiliki kekuatan baru itu mampu membuat pasukan buto kocar-kacir. Kuku Raden Bandung yang tajam mengoyak tubuh para raksasa.

Tegopati sendiri akhirnya menemui ajal dengan kondisi perut terburai akibat sayatan kuku Raden Bandung. Mayat para raksasa atau buto itu pun terkubur di bumi Sangiran.

Itulah cerita rakyat yang menjelaskan tulang-tulang raksasa seringkali ditemukan oleh warga sekitar di telaga sawah dan pekarangan rumah mereka. Tentu perspektif itu berubah seiring kedatangan para arkeolog dunia ke Sangiran.

Namun, lewat cerita rakyat Balung Buto itu terekam ingatan kolektif masyarakat tentang nama-nama desa atau dukuh di kawasan situs manusia purba Sangiran. Bahkan, menurut Wahyu, cerita rakyat itu bisa menjadi penanda adanya potensi keberadaan fosil di tempat tersebut.

“Jadi seperti peta tematik yang ditanamkan oleh masyarakat. Di manapun cerita itu ada, di situ pasti ada fosil. Itu cara leluhur kita dulu untuk mungkin melakukan konservasi, perlindungan, dan pelestarian tulang-tulang itu. Makanya dibuat cerita Balung Buto,” kata dia.

Uniknya cerita rakyat itu masih berusaha dijaga oleh masyarakat sekitar. Ingatan-ingatan tentang cerita Balung Buto itu hingga hari ini terus dirawat oleh masyarakat setempat dengan berbagai cara. Salah satunya dengan dikemas melalui permainan anak dan pertunjukan seni.

“Jadi cerita balung buto itu kita kemas menjadi satu permainan tradisional, harapannya anak-anak SD itu paham kembali tentang cerita-cerita lokal yang ada hubungannya dengan situs Sangiran,” kata Wahyu.

Di permainan tradisional itu anak-anak dibuat seolah-olah bertemu dengan buto atau raksasa. Lalu di dalam permainan itu anak-anak yang dianggap sebagai keturunan Raden Bandung harus bisa menyusun strategi mengalahkan buto yang bangkit kembali.

Gunung Kemukus

Dari wilayah Sangiran, sekitar 15 km – 16 km ke arah utara, tepatnya di kawasan Gunung Kemukus, Desa Pendem, Kecamatan Sumberlawang, Kabupaten Sragen, juga berkembang sebuah cerita rakyat yang sangat populer dan lekat dengan asal muasal kawasan religi, Gunung Kemukus.

Cerita Gunung Kemukus tak lepas dari kisah Pangeran Samodro, putra Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit, yang ingin melakukan syiar Islam pada masa senja kerajaan Hindu. Pangeran Samodro hijrah ke Demak Bintoro seiring menguatnya pengaruh corak Islam Kasultanan Demak saat itu.

Di Demak Bintoro Pangeran Samodro mendalami Agama Islam kepada Sunan Kalijogo. Selang beberapa tahun, Sunan Kalijogo mengutus Pangeran Samodro melengkapi ilmu agamanya dengan mengembara ke kawasan Gunung Lawu.

Dalam perjalanannya berdakwah, Pangeran Samodro sakit hingga akhirnya meninggal dunia, sebelum niatnya kembali ke Demak Bintoro tersampaikan.

Pangeran Samodro kemudian di makamkan di sebuah bukit bernama sebelah barat laut Dukuh Doyong. Makam tersebut berada di ketinggian sekitar 300 mdpl. Karena puncak bukit makam tersebut sering diselimuti kabut putih di pagi hari hingga mirip asap yang keluar dari kukusan penanak nasi maka dinamakan Gunung Kemukus.

Kisah perjalanan Pangeran Samodro ini sempat mengalami pergeseran. Selama bertahun-tahun Gunung Kemukus menjelma menjadi lokasi pesugihan dengan ritual seks, dan sempat menjadi sorotan dunia.

Saat ini, pemerintah daerah setempat tengah mati-matian memperbaiki kembali citra Gunung Kemukus. Butuh effort yang luar biasa untuk menghilangkan memori Kemukus sebagai lokasi pesugihan dan ritual seks.

Bahkan seorang juru kunci makam, saat menerima kunjungan ziarah dari masyarakat harus bisa meyakinkan peziarah datang dengan membawa “sebongkah” cerita yang benar, bukan cerita yang menyimpang.

“Memang banyak sekali yang kemudian bertanya, kok ceritanya beda dengan yang mereka dengar di luar atau baca di media-media? Ini yang benar-benar harus kami luruskan, kami arahkan kepada para peziarah makam,” tutur sang juru kunci makam.
Dari cerita tentang Balung Buto dan Pangeran Samodro di Gunung Kemukus, metode bertutur atau metode bercerita akan sangat berpengaruh terhadap kuat lemahnya benteng kearifan lokal.

Si juru kunci makam Pangeran Samodro menyampaikan untuk saat ini media yang paling tepat untuk menyampaikan pesan-pesan dan nilai kebaikan Pangeran Samodro adalah berkunjung dan melihat langsung Makam Pangeran Samodro di Gunung Kemukus.

Dia sangat berterima kasih kepada sekolah-sekolah yang membawa murid-muridnya untuk datang berkunjung dan mendengarkan kisah tentang Pangeran Samodro secara langsung dari sumber yang bisa dipertanggungjawabkan.



Di era modern seperti sekarang ini, inovasi bertutur atau kreasi memperkenalkan cerita rakyat sangatlah dibutuhkan.

Selain dikemas lewat seni dan permainan anak, ingatan mengenai cerita rakyat juga dikemas dalam seni pertunjukan lain seperti drama musikal. Salah satu platform yang memproduksi drama musikal berdasarkan cerita rakyat adalah Indonesiana.TV.

Platform milik Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) terdapat cerita rakyat Calon Arang dikemas dengan pertunjukan drama berdurasi kurang lebih 30 menit. Para pemain yang mengenakan kostum adat daerah setempat itu juga turut bernyanyi.

Tidak hanya Calon Arang, juga terdapat cerita rakyat lain yang dikemas dengan konsep drama musikal yang tayang di IndonesianaTV seperti Si Pitung, Berta dan Burung Cendrawasih, hingga kisah Bawang Merah dan Bawang Putih.

Atribut adat dan visual yang menarik itu menjadi cara yang efektif mengolah ingatan orang tentang ragam cerita rakyat yang dimiliki Indonesia. Pada akhirnya cerita rakyat yang terekam baik secara lisan maupun tulisan perlu terus dilestarikan untuk merawat ingatan tentang asal-usul masyarakat Indonesia.

 

 







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya