SOLOPOS.COM - Kegiatan Jalan-jalan Greget Sejarah yang mengajak murid-murid SDN Makamhaji 03 Sukoharjo berkunjung ke petilasan Keraton Kartasura, Sukoharjo, Sabtu (7/10/2023). (Solopos.com/Maymunah Nasution)

Solopos.com, SOLO — “Kota ini dipenuhi gema. Mereka seperti terperangkap di balik dinding, atau di bawah batu jalan. Ketika melangkah, kau merasa seseorang mengikutimu, menjejak di jejakmu. Kau mendengar gemerisik. Dan orang-orang tertawa. Tawa yang terdengar hampa. Dan suara-suara yang usang dimakan tahun. Kedengaran seperti itu. Tapi aku merasa akan datang hari ketika suara-suara itu melindap.” ujar Damiana Cisneros, perempuan yang menjadi penunjuk jalan Juan Preciado saat bertolak ke Comala untuk mencari ayahnya, Pedro Paramo, dalam karya terbesar sastrawan Meksiko, Juan Rulfo.

Juan Rulfo hanya perlu menulis dua karya sastra untuk menjadi sastrawan kanon dunia. Dua karya sastra itu berjudul El Llano En Llamas (Dataran Dalam Kobaran Api) yang terbit pada 1953 disusul Pedro Paramo (1955) yang dia tulis selama lebih dari satu dekade.

Promosi Siasat BRI Hadapi Ketidakpastian Ekonomi dan Geopolitik Global

Dalam kisah Pedro Paramo yang singkat, Juan Preciado terlambat menyadari jika Kota Comala yang konon menjadi tempat tinggal Pedro Paramo, ternyata telah menjadi kota mati yang gersang dan ditinggalkan. Namun kota mati itu masih menyisakan bayang-bayang dan gumaman, cerita-cerita yang tertinggal tentang cengkeraman Pedro Paramo membuat Comala menderita.

Di celah-celah tipis antara yang hidup dan yang mati, Comala masih didiami para penghuni terakhir yang enggan atau tidak mampu pergi.

Siapa sangka, mengunjungi petilasan Keraton Kartasura, Sukoharjo, seperti menjalani kisah Juan Preciado mencari Pedro Paramo. Tembok terakota dua lapis keraton yang pernah menjadi ibu kota Kerajaan Mataram Islam ini masih menyimpan rahasianya yang disampaikan dalam kesunyian tempat itu. Dunia di dalamnya berjalan tenang dan hening, tidak secepat dunia masyarakat luar petilasan Keraton Kartasura.

Ingar bingar murid-murid Kelas VI SDN Makamhaji 03 Sukoharjo saat berkunjung ke petilasan Keraton Kartasura dalam acara Greget Sejarah, Sabtu (7/10/2023) tidak berhasil meramaikan tempat itu. Tempat tinggal Raja Mataram Islam yang menjadi tempat kerabat kerajaan dimakamkan menyimpan rahasia mereka masing-masing.

Meski begitu, Ketua Solo Socieitit, Deni Saptani, yang menjadi pemandu rombongan murid-murid SDN Makamhaji 03 Sukoharjo mengingatkan anak-anak agar tidak terjebak dalam pemikiran bahwa petilasan Keraton Kartasura menjadi tempat yang mistis dan angker.

Hal tersebut dia sampaikan saat menjelaskan mengenai bekas kamar tidur Raja yang tinggal di Keraton Kartasura. Tempat itu diberi Watu Kembar sebagai simbol bahwa dulunya menjadi tempat Raja Mataram Islam beristirahat.

“Mistis, angker, dan sejarah itu tidak berkaitan. Di bekas kamar tidur ini kita melihat ada sesajen, bukan berarti warga di sini menyembah roh para Raja, melainkan sebagai bentuk saling menghormati. Warga Jawa percaya jika dunia tidak hanya diisi oleh yang hidup saja, tetapi juga ada tempat bagi yang telah meninggal. Cara menghormati mereka adalah dengan sesajen jika rezeki sedang berlebih, itu saja,” papar Deni kepada para siswa.

Mereka yang mati dan dimakamkan di petilasan Keraton Kartasura menjadi cerita tanpa kata bagaimana Mataram Islam harus membangun pusat kerajaannya lagi di tempat yang baru, yaitu Solo, yang kini menjadi lokasi Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Pecahnya Keraton Kartasura

Meskipun akhirnya pecah menjadi empat daerah akibat Perjanjian Giyanti yang ditandatangani 13 Februari 1755, Mataram Islam pernah berharap keberanian membersamai mereka saat membangun Keraton Surakarta.

Hal ini dijelaskan Deni bahwa nama Kartasura dan Surakarta tak ubahnya hanya dibalik. Dia mengatakan bahwa saat itu Paku Buwono (PB) II menggunakan kata Sura di depan nama keraton karena diyakini memiliki arti keberanian. Menurut Deni, PB II saat itu berharap Mataram Islam menjadi kerajaan yang berani di depan, bukan di belakang.

Deni menambahkan, saat itu PB II juga berharap Keraton Solo akan bertahan lama dan menjadi kerajaan besar. Menurutnya, hal itu sudah terwujud hingga sekarang.

Ia bercerita mengapa Keraton Kartasura harus pindah. Peristiwa Geger Pecinan menyebabkan tembok Keraton Kartasura jebol dan menurut kepercayaan kerajaan saat itu keraton yang rusak sudah kehilangan wahyunya sehingga harus dipindahkan.

Geger Pecinan sendiri terjadi pada 30 Juni 1742 dengan simbol perlawanan rakyat Tionghoa adalah keponakan PB II sekaligus cucu Amangkurat III, RM Garendi atau Sunan Kuning. Amarah orang-orang Tionghoa terjadi karena PB II yang awalnya hendak membantu mereka malah justru membelot dan membantu Belanda agar kekuasaannya terselamatkan.

“Akibat pembantaian etnis Tionghoa di Batavia pada 9 Oktober 1740, terjadi eksodus warga Tionghoa ke daerah timur. Mereka pun menggalang kekuatan untuk melawan Belanda. PB II lalu mendengarnya dan beranggapan kekuatan itu bisa dia manfaatkan untuk mengusir Belanda,” terang Deni saat diwawancara Solopos.com selepas kunjungan SDN Makamhaji 03.

Keadaan cepat berubah karena Belanda menguasai peperangan. Hal membuat PB II khawatir kalah dan membuatnya lengser, sehingga dia dinasihati oleh para penasihatnya untuk membelot ke Belanda dan menumpas pemberontakan orang-orang Tionghoa.

Pengkhianatan PB II

Penumpasan orang Tionghoa yang memberontak membuat ekses politik di Kerajaan Mataram Islam. Banyak pembesar kerajaan yang tidak setuju sikap PB II membelot mendukung Belanda.

Setelah RM Garendi dijadikan simbol perlawanan, Dani mengatakan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa yang kemudian menjadi Mangkunagoro I, seorang kerabat Keraton Kartasura, memilih bergabung dengan laskar Tionghoa. Pasukan RM Garendi berhasil menjebol benteng Keraton Kartasura menggunakan meriam.

PB II dan keluarganya sempat dievakuasi ke Magetan melalui Gunung Lawu. Keraton Kartasura kemudian dikuasai oleh RM Garendi dengan gelar Sunan Amangkurat V. Namun, PB II berhasil merebut keraton itu kembali.

Kini, kisah pilu itu hanyalah sejarah, dan Keraton Kartasura yang awalnya menjadi ibu kota Mataram Islam kini menjadi tempat para kerabat kerajaan beristirahat panjang. Layaknya Comala yang hancur di tangan Pedro Paramo, Keraton Kartasura hancur akibat raja yang tidak setia dengan ikrarnya sendiri.

Meski begitu, menurut inisiator Greget Sejarah, Egi Raf, turunnya moral raja-raja Mataram Islam tidak serta merta membuat petilasan kerajaannya patut dibiarkan tidak terawat.

“Gerakan ini saya buat agar generasi muda di Kartasura mengenal petilasan keraton yang mereka miliki, situs sejarah tidak berhingga harganya. Meskipun dalam sejarah banyak langkah-langkah para Raja Mataram Islam pemilik keraton ini menunjukkan turunnya moral, tetapi hal itu juga menjadi bagian sejarah yang patut dipelajari agar tidak terulang lagi,” ujar Egi saat diwawancara Solopos.com selepas acara.

Ia mengatakan target acara tersebut adalah kelompok usia SD yang tersebar di 10 kelurahan di Kartasura. Dia tergerak setelah ada masyarakat yang merobohkan tembok Keraton Kartasura. Menurut Egi, aksi tersebut terjadi karena masyarakat Kartasura kurang mengenal situs sejarah yang mereka miliki.



Kini, nasib petilasan Keraton Kartasura sepenuhnya ada di tangan segenap warga Kartasura. Apakah situs sejarah itu hancur atau dirawat, hanya waktu yang dapat menjawab.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya