SOLOPOS.COM - ilustrasi (dok)

ilustrasi (dok)

Pelayanan para pegawai pemerintah terhadap publik  sampai saat masih kurang memuaskan. Ketidakpuasan terhadap kinerja pelayanan publik, bisa dilihat dari keengganan masyarakat berurusan dengan  birokrasi pemerintah. Bahkan ada kesan masyarakat untuk  sejauh mungkin menghindari birokrasi pemerintah.

Promosi Jangkau Level Grassroot, Pembiayaan Makro & Ultra Mikro BRI Capai Rp622,6 T

Hal ini muncul akibat telah adanya stigma negatif yang selama ini telah telanjur lekat dengan birokrasi pemerintah atau pegawai negeri sipil saat memberikan pelayanannya kepada publik yang dinilai kurang responsif, kurang informatif, kurang koordinasi, tidak  mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat  tidak efektif, terlalu berbelit-belit dan kurang transparan.

Menurut catatan Ombudsman masyarakat masih banyak mengeluhkan pelayanan yang diberikan instansi pemerintah khususnya pemerintah daerah (Pemda).  Tahun  2011 Ombudsman menerima 5.800 laporan pengaduan masyarakat dari 33 provinsi. Masalah yang diadukan berupa tindakan penundaan berlarut sebanyak 784 laporan, penyalahgunaan wewenang 328 laporan, berpihak sebanyak 127 laporan, tidak membeberkan pelayanan 151 laporan, penyim¬pangan prosedur 162 laporan, permintaan barang dan jasa 139 laporan, tidak kompeten 93 laporan, tidak patut 53 laporan, diskriminasi 27 laporan dan konflik kepentingan 3 laporan.

Dari 5.800 laporan itu yang memenuhi kriteria untuk ditindaklanjuti Ombudsman hanya 1.867 laporan saja. Dari data tersebut terungkap Pemda merupakan instansi yang paling banyak diadukan dengan jumlah 671 pengaduan; kepolisian 325 pengaduan, pengadilan 178 pengaduan, Badan Pertanahan Nasional 165 pengaduan, dan BUMN/BUMD sebanyak 106 pengaduan.

Kinerja yang masih buruk dan kurang disiplinnya pegawai pemerintah atau PNS masih sering terlihat secara kasat dalam kesehariannya. Masih banyaknya PNS yang berseliweran di pasar atau  pusat perbelanjaan saat jam kerja sepertinya sudah menjadi pemandangan biasa bagi masyarakat. Saat berada di kantor, mereka pun hanya banyak yang menghabiskan waktu dengan minum teh, mengobrol, baca koran dan bahkan berdagang atau berbisnis online. Saat masuk setelah cuti bersama pun banyak PNS yang meminta tambahan libur dengan berbagai macam alasan yang terkesan dibuat-buat atau dicari-cari. Inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan di berbagai intansi pemerintah pascalibur atau cuti bersama bahkan telah menjadi tradisi tahunan. Namun tampaknya tak ada efek berarti dari upaya ini.

Rendahnya kualitas disiplin dan etos kerja aparatur negara seperti inilah yang menjadi akar penyebab sehingga tumbuhlah pelayanan yang  berkualitas buruk.  Hal ini juga akan berdampak pada munculnya perilaku PNS yang menyimpang seperti KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Bukan itu saja kondisi ini kadang diperparah dengan kualitas manajemen pemerintahan yang tidak produktif, tidak efektif dan tidak efesien sehingga muncul pula kualitas pelayanan publik yang tidak akuntabel dan tidak transparan.

Salah satu hal mendasar yang menjadi pemicu ini semua antara lain adalah masih banyaknya  peran dan fungsi  kementerian/lembaga pemerintah yang tumpang tindih, pemerintah yang dirasakan masih sentralistik, kurangnya infrastruktur pendukung, masih kuatnya budaya dilayani bukan melayani (not to serve but be served), transparansi biaya dan prosedur pelayanan yang belum jelas, serta sistem insentif/penghargaan dan sanksi belum maksimal.

Padahal kita tahu bahwa PNS merupakan kepanjangan tangan birokrasi yang memiliki peranan dan  fungsi penting dalam menjalankan roda kehidupan negara. Namun,  besarnya pengaruh kekuasaan dan politik  mengakibatkan birokrasi tidak  profesional atau mandul. Birokrasi dengan kultur yang dibangunnya, cenderung  lebih sibuk melayani penguasa daripada menjalankan fungsi utamanya sebagai pelayan masyarakat.

Di lain sisi dengan dalih untuk meningkatkan kesejahteraan, semangat dan etos kerja yang nanti diharapkan dapat memberikan dampak pada peningkatan mutu layanan, pemerintah tak segan-segan terus memanjakan para PNS dengan meningkatkan gaji dan tunjangan lain.

Dalam kurun waktu 2007-2012, realisasi belanja pegawai secara nominal mengalami peningkatan rata-rata 18,6% per tahun, yaitu dari Rp90,4 triliun (2,3% terhadap PDB) di 2007, menjadi Rp212,3 triliun (2,5% terhadap PDB) di 2012.

DPR dan Pemerintah belum lama ini menyetujui pencairan anggaran remunerasi pegawai negeri sipil 20 kementerian/lembaga pada 2013. Pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp2,92 triliun untuk tunjangan remunerasi 20 instansi yang dinilai telah berhasil menyelesaikan program reformasi birokrasi.

Secara keseluruhan, pemerintah menganggarkan Rp241,12 triliun untuk belanja pegawai dalam RAPBN 2013 atau naik dari pos belanja pegawai dalam APBNP 2012 sebesar Rp212,25 triliun.

Sungguh jumlah yang sangat fantastis bahkan lebih besar dari anggaran belanja infrastruktur pada 2013 yang diperkirakan “hanya” sebesar Rp210 triliun.

Padahal setiap hari, ada 80 orang yang meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas di Indonesia. Angka itu cukup buruk bila dibandingkan dengan negara lainnya. Salah satu penyebabnya, kondisi jalan yang rusak. Gambaran yang tidak berbeda jauh terjadi di hampir seluruh Pemda, dimana anggaran belanja untuk pegawai lebih besar dibandingkan dengan anggaran untuk belanja pembangunan.

Sehingga tidak mengherankan jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mewanti-wanti agar daerah  mengalokasikan APBD-nya untuk belanja modal, dan tidak habis untuk belanja pegawai dan belanja rutin.  Mengingat pada 2013 pemerintah pusat menjanjikan akan mentransfer dana ke daerah sebesar Rp500 triliun.

Perlu Waktu

Seperti pernah diungkap Wakil Menteri (Wamen) Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB) Eko Prasojo proses reformasi birokrasi belum bisa berhasil dalam waktu dekat, karena birokrasi di negara ini memang sudah sangat kacau, amburadul dan tanpa pengaturan serta pengelolaan yang benar.

Eko, yang juga Guru Besar Universitas Indonesia ini, menjelaskan, keberhasilan reformasi birokrasi bisa dilihat dari tiga hal yaitu indeks kepuasan Masyarakat (IKM), tindaklanjut atas pengaduan yang disampaikan masyarakat, dan indeks korupsi yang makin membaik.

Pada 2009 lalu, IKM berada pada angka 50. Kemudian naik menjadi 60 (2010) dan 76,6 (2011). Pada tahun 2014, IKM ditargetkan naik menjadi 85,5.

Untuk tindaklanjut pengaduan, dia mengemukkan masih banyak instansi pemerintah yang tidak menindaklanjuti pengaduan yang disampaikan masyarakat.  Lembaga-lembaga pengawas dalam instansi terkait juga tidak berjalan untuk mengecek dan menegur instansi-instansi yang tidak menindaklanjuti pengaduan yang ada. Menurutnya, birokrasi Indonesia masih berada pada tahap hard reform, belum menuju ke soft reform, apalagi smart reform.

Terkait indeks korupsi, ia menegaskan negara ini baru akan menunju ke angka 3. Padahal negara yang berhasil dan bersih dalam birokrasi, indeks korupsi harus berada di atas 5.

Eko menegaskan RB baru berhasil ketika IKM mencapai 85,5, indeks korupsi berada di atas angka 5, dan birokrasi berada pada tahap smart reform. Menurutnya, angka-angka itu bisa dicapai jika seluruh masyarakat terus mendorong untuk melakukan RB. Di sisi lain, pemerintah responsif terhadap tututan masyarakat untuk terus lakukan RB.

Eko menjelaskan, hal-hal yang sudah dilakukan selama ini adalah dengan menyusun master plan reformasi birokrasi (RB) yang mencakup sembilan program percepatan reformasi birokrasi. Kesembilan program itu adalah penataan struktur birokrasi, penataan jumlah, distribusi dan kualitas pegawai negeri sipil (PNS), sistem seleksi dan promosi secara terbuka, dan pengaturan profesionalitas PNS.



Program lainnya adalah pengembangan sistem elektronik pemerintah (E-Goverment), penyederhanaan izin usaha, pelaporan harta kekayaan PNS, peningkatan kesejahteraan PNS, dan efisiensi penggunaan fasilitas, sarana dan prasarana pegawai negeri.

Langkah konkret dari program-program itu misalnya penempatan orang sesuai kemampuan, dilakukan moratorium penerimaan PNS, pembentukan lembaga pengawas, restrukturisasi organisasi kementerian dan lembaga, efisiensi anggaran dan penegakkan integritas.

Ia mengemukakan persoalan birokrasi sebagai masalah yang rumit karena menyangkut manusia. Mengubah perilaku dan karakter yang sudah membudaya tidak mudah. Karena itu, perlu waktu yang panjang untuk pembenahannya.

Langkah yang sudah cukup bagus tampaknya juga sudah dicanangkan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi akan menerapkan kebijakan menciptakan iklim persaingan (competitive zone) untuk merubah budaya kerja pegawai negeri sipil (PNS) dalam rangka meningkatkan kinerja PNS sejalan dengan reformasi birokrasi.

Eko Prasojo mengatakan, perubahan tersebut diperlukan untuk memperbaiki kinerja PNS yang selama ini hanya berada dalam zona nyaman (comfort zone).  Hal ini juga berarti akan diharapkan dapat mengubah budaya PNS yang kerap datang terlambat tetapi pulang lebih cepat.

Di lain sisi, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Abubakar menyatakan, pihaknya menggandeng Indonesia Corruption Watch (ICW), Ombudsman RI, dan segenap LSM untuk turut mengawasi pelaksanaan seleksi CPNS tersebut. Dengan demikian, ia penerimaan CPNS benar-benar bersih dari KKN, bebas dari politisasi, dan mampu menghasilkan aparatur negara yang terbaik, sejalan dengan kebijakan reformasi birokrasi.

Di sisi lain Azwar Abubakar juga mengatakan, pemberian tunjangan kinerja dalam reformasi birokrasi harus diimbangi dengan langkah-langkah serius jajaran birokrasi untuk membersihkan diri upaya-upaya untuk mendapatkan penghasilan dengan mengakali keuangan negara. Menurutnya, berbagai honor yang sifatnya mengada-ada, yang selama dijadikan penghasilan tambahan pegawai negeri, harus dihilangkan.

Namun alangkah bagusnya sejumlah rencana dan program dalam reformasi birokrasi tersebut tidak saja sebagai wacana namun harga mati untuk diimplementasikan secara nyata.  Dibutuhkan proses yang tidak mudah, namun demikian sesuatu yang besar harus dimulai dengan langkah-langkah kecil. Pertanyaan klise namun mendasar adalah, apakah semua PNS di semua lini sudah mengetahui semua program dalam reformasi birokrasi?  Inilah pentingnya sosialisasi dan komunikasi.

Demi menjadikan program reformasi birokrasi berjalan sesuai yang diharapkan,  para PNS harus memiliki pemahaman kolektif untuk maju dan melakukan perbaikan secara bersama-sama.  Hal ini bisa dicapai jika mereka sudah mendapatkan informasi dan pemahaman yang memadai.  Dari pemahaman tersebut diharapkan bisa memunculkan motivasi dan energi positif untuk melakukan perbaikan, yang dimulai dari masing-masing personal.

Selanjutnya untuk menjaga motivasi tersebut tetap terjaga,  para PNS diharapkan bisa lebih proaktif dan produktif. Di sinilah pentingnya mendudukan para pegawai pemerintah tersebut sebagai subjek perubah tidak saja sebagai objek yang harus diubah. Jika iklim persaingan telah terbangun di kalangan PNS seperti yang diharapkan, akan lebih bagus jika para PNS tersebut dituntut untuk melakukan inovasi dalam melakukan tugasnya.  Selain itu, penentuan target dalam tugas harus dibuat lebih jelas agar mereka terpacu untuk bekerja lebih baik secara berkelanjutan. Jika hal ini dilakukan secara konsisten, diharapkan mental para PNS akan terbentuk menjadi pekerja yang andal, produktif dan inovatif. Sebab mengubah mental para PNS merupakan hal urgen yang harus segera dilakukan.

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia (UI) Andrinov Chaniago dalam sebuah media online mengatakan, langkah mendesak untuk membenahi birokrasi di Indonesia adalah dengan cara mengubah mental birokrat.  Dan menurutnya, perubahan mental pegawai negeri sipil tidak bisa dilakukan secara instan, namun harus dengan cara sistemik dimulai dari proses rekrutmen pegawai, sistem promosi, perbaikan sistem kerja.  Reformasi birokrasi juga harus memperbaiki kualitas manusianya dan perbaikan organisasinya.

Selanjutnya untuk mengukur pencapaian dan kinerja PNS, diperlukan sebuah system yang komprehensif dan jelas. Mengingat,  sistem penilaian saat ini belum memiliki basis indikator yang jelas dalam penilaian kinerja PNS.  Tidak ada salahnya mengadopsi cara-cara perusahaan swasta yang mungkin lebih efektif dan efisien, misalnya setiap pegawai PNS mendapatkan penilaian atas kinerjanya baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Penilaian tersebut bisa menjadi pertimbangan dalam memberikan reward atau punishment kepada para PNS dalam periode tertentu. Tidak ada salahnya untuk menambah semangat kerja dalam periode tertentu ada semacam kompetisi pegawai terbaik bagi mereka yang memang pantas mendapatkannya.

Jika semua program reformasi birokrasi telah berjalan di track yang telah ditentukan,  mental PNS telah menjadi petugas yang mumpuni, andal dan professional,  masyarakat tak akan ragu lagi berurusan dengan birokrasi. Selanjutnya roda pemerintahan dan pembangunan pun akan berputar dengan lancar menuju cita-cita bangsa.  Semoga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya