SOLOPOS.COM - Ilustrasi, warga membatik (JIBI/SOLOPOS/dok)

Ilustrasi, warga membatik (JIBI/SOLOPOS/dok)

SOLO– Mayoritas produk batik ekspor Solo diklaim orang asing dengan dijual ke sejumlah negara atas nama merek dagang mereka. Padahal produksi batik-batik berkualitas itu dibuat oleh pekerja di Solo

Promosi Jelang Lebaran, BRI Imbau Nasabah Tetap Waspada Modus Penipuan Online

Pemilik batik halus  Puspa Kencana, Achmad Sulaiman, Jumat (10/8/2012), mengatakan hampir 70% pelanggan dari luar negeri yang sering memesan batiknya tak pernah menggunakan merek dagangnya saat memasarkan karyanya itu ke negara lain. Padahal batik tersebut biasanya dipasarkan oleh pelanggannya hingga ke Amerika Serikat dan sejumlah negara di Benua Eropa. Pelanggannya paling banyak berasal dari Malaysia dan Vietnam.

Menurut Achmad, hal semacam itu lazim. Pasalnya pelanggan memiliki wewenang terhadap pesanannya. Sekali pesan biasanya sekitar 1.000 potong dengan berbagai motif. “Pesanan enggak tentu. Bisa sebulan sekali atau tiga bulan sekali,” tandasnya saat ditemui Solopos.com, Jumat.

Lebih lanjut, kata Achmad, tak semua batik ekspor murni desainnya.  Biasanya pengrajin sepertinya harus mengikuti corak dan keinginan si pelanggan. “Kalau saya enggak masalah. Yang penting pelanggan saya puas dan produksi saya berjalan,” tambahnya.

Menurut Achmad, sejumlah pedagang batik di luar negeri senang dengan karya pengrajin di Indonesia karena harga murah dan kualitas bagus. Pasalnya, di luar negeri tak ada SDM yang mampu memproduksi batik dalam skala besar. Ditambah bahan baku yang minim. “Mereka [orang luar negeri]  biasanya memang pandai promosi dan marketing. Tapi kalau produksi pasti susah,” kata dia.

Ketua Forum Komunitas Kampung Batik Laweyan Alfa Fabela Priyatmono, Kamis (9/8), mengakui produk ekspor pengrajin batik di Laweyan mayoritas dijual ke luar negeri dengan merek yang berbeda. Hal itu menurutnya sudah terjadi sejak lama. tergantung kesepakatan pengrajin dan pembeli.

Sementara itu, kata Alfa, untuk mematenkan motif batik membutuhkan waktu lama. Bahkan prosesnya bisa lebih dari dua bulan. Padahal setiap bulan motif dan desain batik selalu berkembang. “Solo dulu pernah akan mematenkan beberapa motif batik, tapi gagal karena motif itu ternyata motif lawas yang anonim,” tambahnya. JIBI/SOLOPOS/Ika Yuniati

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya