SOLOPOS.COM - Masjid Saka Tunggal di Banyumas. (duniamasjid.islamic-center.or.id/81/masjid-saka-tunggal/)

Solopos.com, BANYUMAS — Masjid Jami’ Baitussalam atau yang biasa disebut sebagai Masjid Saka Tunggal merupakan masjid tertua di Indonesia yang terletak di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. 

Disebut sebagai Masjid Saka Tunggal karena memiliki satu tiang penyangga di ruang utamanya. Melansir dari duniamasjid.islamic-center.or.id yang diakses pada Senin (7/8/2023), saka yang berdiri di tengah ruangan utamanya ini memiliki empat sayap yang jika diperhatikan akan terlihat seperti sebuah totem.

Promosi BRI Cetak Laba Rp15,98 Triliun, ke Depan Lebih Fokus Hadapi Tantangan Domestik

Bagian bawah pada saka tersebut dilindungi oleh kaca yang melindungi bagian yang terdapat tulisan tahun pendirian masjid tersebut.

 Masjid ini berukuran 12 x 18 meter dan menjadi satu-satunya masjid yang berdiri sebelum Walisongo datang ke Pulau Jawa untuk menyebarkan ajaran agama Islam. 

Tahun berdirinya masjid ini tepatnya yaitu pada tahun 1288 Masehi, atau 2 abad sebelum Walisongo datang dan berdakwah di Pulau Jawa. 

Usianya yang sudah mencapai lebih dari 7 abad ini menjadi masjid tertua di Indonesia. Masjid Saka Tunggal berdiri pada masa Kerajaan Singasari. 

Menurut sejarah, Masjid Saka Tunggal didirikan dengan tokoh penyebar Islam yang di Cikakak bernama Mbah Mustolih yang hidup di dalam Kesultanan Mataram Kuno. 

Hal ini menyebabkan hal-hal berbau kejawen masih sangat melekat di masjid ini. Mbah Mustolih menjadikan Cikakak sebagai markas dalam berdakwah. 

Hal tersebut ditandai dengan pembangunan Masjid Saka Tunggal ini. Saat wafat beliau juga dimakamkan tidak jauh dari Masjid Saka Tunggal.

Masjid ini dikelilingi oleh hutan yang dihuni oleh monyet liar yang berkeliaran di area sekitaran masjid. Kera-kera tersebut jinak dan dapat diajak berintraksi dengan pengunjung selama tidak diganggu walaupun merupakan hewan liar. 

Pengunjung dapat berinteraksi dengan kera-kera tersebut dengan memberi kacang, pisang, atau makanan kecil lainnya karena kera-kera tersebut sering turun ke sekitar masjid dan rumah warga.

 Masjid Saka Tunggal Banyumas ini beratapkan sirap kayu dengan material dinding yang pada saat dibangun menggunakan kayu dan anyaman bambu. 

Kemudian seiring waktu dindingnya ditambah dengan dinding bata pada eksterior masjidnya untuk tujuan pemeliharaan masjid. Anyaman bambu pada interior masjid digunakan sebagai pemisah antar ruangan dan sebagai plafon.

Empat sayap yang terdapat pada Saka Tunggal melambangkan ‘papan kiblat lima pancer’ yang berarti empat mata angin dan satu pusat. 

‘Papan kiblat lima pancer’ memiliki makna bahwa manusia sebagai pancer (pusat) dikelilingi oleh empat mata angin yang masing-masing melambangkan api, angin, air, dan bumi. 

Saka Tunggal tersebut merupakan lambang bahwa hidup itu seperti alif yang harus lurus, jangan berbohong, jangan nakal, jangan bengkok.

Sementara itu untuk empat arah mata angin tersebut memiliki makna bahwa hidup itu harus seimbang. Jangan terlalu banyak air bila tidak mau tenggelam, jangan terlalu banyak angin bila tidak mau masuk angin, jangan terlalu banyak api bila tidak mau terbakar, dan jangan terlalu memuja bumi jika tidak ingin jatuh. 

Papan kiblat lima pancer ini diibaratkan sama dengan nafsu manusia yang berjumlah empat yang dalam Islam-Jawa dijelaskan sebagai aluamah, mutmainah, sopiah, dan amarah yang akan selalu bertarung dan memengaruhi manusia.

Pada bagian mimbar imam dan khotbah terdapat dua ukiran dengan gambar nyala sinar matahari yang mirip dengan lempeng mandala. 

Gambar serupa ini sering dijumpai pada bangunan kuno pada masa Kerajaan Singasari dan Majapahit. Atap ijuk berwarna hijau juga atap bangunan yang ada pada pura zaman Kerajaan Mahapahit. 

Tempat wudu pada Masjid Saka Tunggal ini juga masih bernuansa seperti pada saat pertama kali dibangun meskipun dindingnya sudah diganti dengan tembok.

Pada Jumat seusai Salat Jumat akan diadakan sebuah tradisi yang disebut dengan Ura-ura. Kegiatan ini merupakan kegiatan berzikir dan bershalawat bersama oleh pada jamaah Salat Jumat yang dilantunkan dengan nada kidung jawa dan berbahasa campuran Arab dan Jawa. 

Tidak hanya itu, khutbah Jumat juga disampaikan menggunakan lantunan kidung. Imam salat tidak menggunakan peci ataupun kopiah, tetapi menggunakan pengikat kepala atau yang sering disebut dengan udeng. 

Muazin di Masjid Saka Tunggal ini juga menggunakan penutup kepala yang sama dengan imam tetapi bermotif batik dan baju lengan panjang berwarna putih. 



Muazin di Masjid Saka Tunggal tidak hanya satu, melainkan empat orang dan mereka akan azan secara bersamaan. 

Hal ini dikarenakan Masjid Saka Tunggal mempertahankan tradisi tidak menggunakan pengeras suara, tetapi azan yang dilantunkan tetap terdengar lantang dan keras.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya