SOLOPOS.COM - Salah satu kegiatan Pangestu, yakni Olah Rasa yang rutin diselenggarakan. (Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Pangestu yang merupakan organisasi masyarakat yang bergerak di bidang pengolahan kejiwaan hingga saat ini masih dicap sesat.

Anggapan tersebut membuat warga Pangestu–sebutan untuk anggota Pangestu- takut untuk mengungkap identitas maupun jati diri mereka. Hal ini pun dirasakan Trisna Susilowati, anggota Pangestu yang sudah masuk dalam organisasi tersebut sejak 2018.

Promosi BRI Group Buka Pendaftaran Mudik Asyik Bersama BUMN 2024 untuk 6.441 Orang

Trisna mengatakan anggapan aliran sesat dari masyarakat membuat dia untuk tidak membuka identitasnya yang tergabung dalam kelompok minoritas Pangestu. Bahkan, kepada orang terdekatnya pun, dia tidak mengakui sebagai anggota Pangestu. Hal ini pula yang membuat jarang mengikuti kegiatan Pangestu, salah satunya olah rasa.

“Saya takut kalau dianggap sesat. Orang tua saya pun tidak tahu kalau saya tergabung dalam Pangestu. Anggapan masyarakat itu membuat saya berpikir dua kali untuk membuka identitas saya,” jelas Trisna kepada Solopos.com pada Selasa (26/12/2023). Meski masih dihinggapi rasa takut, dia tidak pernah mengalami persekusi, intimidasi, maupun diskriminasi.

Menurut Kabid Pembinaan Sejarah dan Pelestarian Cagar Budaya, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kota Solo, Sungkono, penghayat kepercayaan, termasuk Pangestu memang hingga sekarang takut mengungkap identitasnya secara terang-terangan karena khawatir mendapatkan tekanan.

“Mereka belum berani karena ada intimidasi dan diskriminasi. Tekanan dari sebelah,” jelas Sungkono, tak mengungkap jelas siapa yang dimaksud dengan sebelah itu, kepada Solopos.com di kantornya, Senin (18/12/2023).

Padahal pemerintah telah menjamin hak Warga Negara Indonesia (WNI) untuk memeluk agama apapun, termasuk memiliki aliran kepercayaan. Hak beragama merupakan salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang benar-benar dilindungi oleh negara. Hal tersebut juga diatur dalam Pasal 28E ayat 1 UUD 1945, yang berbunyi sebagai berikut.

“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”

Ilustrasi hak asasi manusia (its.ac.id)

Sementara aturan mengenai kebebasan untuk menganut aliran kepercayaan tertulis pada Pasal 28E ayat 2 UUD 1945. “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya,” bunyi pasal tersebut.

Pemerintah juga menjamin hak WNI untuk melakukan kegiatan berkumpul, termasuk melaksanakan peribadatan. Hal ini juga dibenarkan oleh Kabid Politik Dalam Negeri dan Organisasi Kemasyarakatan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangol) Kota Solo, Sri Lestari.

“Asalkan tidak melanggar aturan dan ketertiban umum mereka bisa melakukan itu. Pemerintah memberikan kebebasan untuk berkumpul,” jelas Sri Lestari kepada Solopos.com di kantornya pada Senin (18/12/2023).

Sri Lestari juga mengungkap hingga saat ini belum ada laporan masuk terkait intimidasi maupun diskriminasi dari pihak tertentu terhadap penghayat kepercayaan, termasuk dari Pangestu. “Belum ada pelaporan, apalagi Solo kan kota toleran. Semisal ada yang mengganggu, ada tim pembinaan dan pengawasan ormas yang melibatkan Kejaksasaan dan Kemenag,” ucap Lestari.

Terkait ketakutan warga Pangestu yang belum berani mengungkap identitasnya, menurut Koordinator Daerah Jawa Tengah (Korda Jateng) XI Pangestu Budi Prabowo disebabkan ada dua faktor, yakni risiko dicap sesat dan belum memahami ajaran Pangestu lebih dalam.

“Satu karena takut risiko [untuk dicap sesat]. Kedua tidak paham benar dengan ajarannya. Jika dia sudah paham, maka risiko-risiko tadi tidak dipikirkan lagi,” kata pria yang biasa disapa Bowo itu kepada Solopos.com, Senin (11/12/2023).

Budi menyebut tudingan sesat itu seharusnya dianggap biasa saja karena dia meyakini perilaku warga Pangestu tidak menyimpang dari norma maupun aturan negara.

Berbeda dengan Bowo, Sekjen Pengurus Pusat Pangestu, Tri Nuke Pudjiastuti menyebut ketakutan untuk menunjukkan diri harus diikuti dengan kebijaksanaan dan tingkah laku. Jika warga Pangestu terus berbuat kebaikan dan selalu memegang teguh ajaran Pangestu, yakni rela, menerima, sabar, jujur, dan budi luhur, masyarakat akan bisa menilai sendiri.

“Kita menjadi bijaksana di dalam posisi harus show up. Tetapi show up yang lebih baik kita menunjukkan pribadi yang lebih baik, dengan perilaku yang baik. Saya bisa memahami ketika orang tidak mau menunjukkan diri,” jelas Nuke kepada Solopos.com melalui sambungan telepon pada Rabu (13/12/2023).

Nuke juga menambahkan nanti masyarakat juga akan bertanya-tanya karena penasaran ketika warga Pangestu dalam menjalani kehidupan bisa tentram, damai, dan sabar.

“Kita tidak perlu gembar gembor karena kita untuk menjaga perasaan orang. Namanya manusia hidup, belum semuanya di posisi sareh, saleh, ya ada yang suka dan tidak suka. Ngapain kita show up, yang penting mereka bisa terima saya, dengan perilaku yang baik itu. Nanti ada pertanyaa, ‘Kok bisa Anda bisa hidup tenang dan tentram’, karena kita belajar Pangestu,” tambah dia.

Namun, Nuke memahami warga Pangestu yang masih belum percaya diri mengungkap identitasnya sebagai anggota Pangestu. “Cuma saya berpikir positif saja, karena mereka belum yakin dengan yang diyakini jadi masih ada ketakutan,” ujar perempuan yang kini berprofesi sebagai peneliti politik senior di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) ini.

Nuke menambahkan jika warga Pangestu sudah meyakini ajaran yang diajarkan Pangestu bukan lagi ajaran sesat, pada nantinya akan rasa takut itu akan hilang. Nuke menegaskan Pangestu bukan sebagai aliran kepercayaan, sebagaimana anggapan di masyarakat saat ini. Hal ini juga jelas tertulis dalam AD/ART yang dimiliki Pangestu yang berasaskan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila, dan tidak berafiliasi politik, partai politik, maupun agama apa pun.

“Kita tidak masuk aliran kepercayaan, kejawen, tidak sama sekali. Maka jika ada pertemuan-pertemuan, kita tidak masuk ke mana-mana. Kami itu organisasi masyarakat pengolahan hati dan jiwa. Orang beragama apa pun ada di situ. Dia [anggota Pangestu] Islam ya bisa menjadi Islam yang baik, Kristen ya Kristen yang baik,” jelas Nuke.

Meskipun begitu, Pangestu juga sempat masuk dalam Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK), tetapi telah resmi keluar. Pangestu juga telah mengirim surat resmi kepada pemerintah untuk keluar dari aliran kepercayaan. Meski telah keluar dari aliran kepercayaan, pemerintah tetap mendukung kegiatan Pangestu dengan memberikan kebebasan untuk berkumpul, terutama untuk melaksanakan kegiatan olah rasa.

Kegiatan Olah Rasa oleh Pangestu. (Istimewa)

“Kalau pun tidak merasa ada kekhawatiran, kita memberikan buku profil Pangestu dan AD/ART supaya mereka tahu kami bukan aliran sesat. Hingga saat ini belum terjadi bentrok dengan satu sama lain karena memang di dalam organisasi digariskan Pangestu itu anggotanya menjadi bagian dalam bermasyarakat dan bernegara secara baik,” cerita dia.



Pangestu juga turut memberikan dukungan kegiatan yang dilakukan masyarakat maupun pemerintah. Di beberapa cabang, gedung miliki Pangestu digunakan untuk kegiatan-kegiatan dari pemerintah maupun masyarakat.

“Beberapa gedung Pangestu, yakni Dana Warih yang kita miliki ketika masyarakat sekitar mau pakai, itu dipakai oleh warga. Bahkan beberapa tempat dipakai untuk kecamatan, desa digunakan pertemuan. Kita berikan karena bagian dari kehidupan bermasyarakat,” urai Nuke.

Sementara itu, Ketua Program Studi Agama dan Lintas Budaya atau Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Samsul Maarif, penghayat kepercayaan memang takut untuk menunjukkan identitas mereka. Hal ini dikarenakan tidak ada narasi kesetaraan dalam negara.

“Ketakutan orang secara psikolgois berdampak kurangnya status kewarganegaraannya. Kalau narasi semua orang setara dalam negara, itu tidak terjadi. Tetapi kita bias memahami penghayat kepercayaan takut mengungkap identitas. Kalau mau disuarakan, tidak ada kanalnya,” jelas pria yang kerap disapa Anchu itu kepada Solopos.com, Jumat (29/12/2023).

Anchu mengatakan agar terwujudnya kesetaraan itu, perlu dukungan dari masyarakat sipil dan media.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya