SOLOPOS.COM - Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, saat mendatangi Kanwil Bea Cuka Jateng DIY untuk melaporkan dugaan penyelundupan mobil Mercy di Pelabuhan Tanjung Emas, Senin (6/3/2023). (Solopos.com-Adhik Kurniawan)

Solopos.com, JAKARTA–Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menyoroti performa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) saat ini.

MAKI menilai KPK belum mampu mengungkap kasus-kasus besar atau big fish karena hanya fokus pada operasi tangkap tangan.

Promosi Kredit BRI Tembus Rp1.308,65 Triliun, Mayoritas untuk UMKM

Sementara, Kejagung mampu mengungkap kasus besar karena menggunakan pola kerja yang berbeda.

“Ini memang suatu keprihatinan kita, saya berharap perlu didorong, KPK perlu di depanlah,” kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman dikutip dari Antara, Senin (27/3/2023).

Boyamin sudah meramal sejak 10 tahun yang lalu bahwa kinerja KPK akan kalah dengan Kejagung dalam mengungkap kasus-kasus besar tindak pidana korupsi.

“Itu (ramalan) sudah saya sampaikan kepada kedua belah pihak,” ujar Boyamin.

Boyamin berpandangan ketidakmampuan KPK mengungkap kasus-kasus besar seperti yang dilakukan Kejagung karena pola kerja yang dijalankan KPK selama ini.

Ia menjelaskan KPK hanya fokus pada OTT yang menerapkan Pasal 5 yang mengatur tentang suap, Pasal 11 tentang gratifikasi, serta Pasal 12 tentang penerimaan hadiah dan pemerasan pada UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Dari OTT itu, lanjut Boyamin, KPK baru melakukan pengembangan kasus. Jika pengembangan kasus yang dilakukan KPK selalu berasal dari OTT maka akan terbiasa dimudahkan dalam proses hukum.

“Yaitu apa? Dia (KPK) membuat bukti istilahnya gitu, jadi dia mau ngincer orang kalau enggak jadi diberikan uangnya kan enggak jadi ada bukti bahwa terjadi suap, jadi ini sesuatu yang membuat bukti jadi gampang gitu,” katanya.

Menurut Boyamin, hal itu berbeda dengan pola kerja Kejagung. Lembaga Adhyaksa itu selalu berkontribusi atau berkutat pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor.

Pasal 2 mengatur tentang perbuatan melawan hukum, sedangkan Pasal 3 tentang perbuatan penyalahgunaan wewenang.

“Kalau Pasal 2 dan Pasal 3 adalah mencari bukti dan menemukan bukti. Kenapa? Karena korupsinya sudah terjadi, bisa jadi lima tahun yang lalu, 12 tahun yang lalu, atau setahun yang lalu. Peristiwanya sudah terjadi dan harus menemukan dan mencari alat bukti,” katanya.

Dengan pencarian alat bukti ini, ujar Boyamin, otomatis ketika Kejagung fokus dan konsentrasi di situ, maka lama-lama akan menemukan “ikan besar” (kasus besar). Itu terbukti dimulai dari 2018 dalam kasus Jiwasraya yang dilaporkan MAKI.

Dari kasus tersebut, lanjut dia, dirumuskan sampai 2019–2020 yang kemudian rentetannya menjadi kasus ASABRI.

Tidak hanya itu, MAKI merupakan salah satu yang melaporkan kasus langka dan mahalnya minyak goreng akibat ekspor CPO, termasuk kasus impor tekstil di Batam, dan kasus Satelit Kemenhan kepada Kejagung.

“Kemudian beberapa kasus besar-besar lain yang termasuk kasus perkebunan Surya Darmadi yang dirumuskan kerugiannya sampai sangat tinggi di atas Rp50 triliun,” kata Boyamin.

Hal inilah yang membuat Kejagung mampu mengungkap kasus-kasus megakorupsi dengan pola kerja berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 mencari dan menemukan alat bukti.

Menurut Boyamin, keberhasilan Kejagung tidak hanya mengungkap kasus-kasus besar tapi mampu merumuskan kasus terkait tentang kerugian perekonomian negara.

Hal itu, paparnya, dimulai dari kasus impor tekstil di Batam yang terungkap terjadi kerugian perekonomian negara, termasuk kasus Surya Darmadi, impor minyak goreng.

“Jadi Kejagung itu bukan hanya kasus besar tapi sudah melompat lagi tentang merumuskan kerugian perekonomian negara, sementara KPK masih berkutat kerugian keuangan negara dan itu kemudian hanya berdasarkan OTT dan temuan BPK misalnya,” kata Boyamin.

Dengan perbedaan pola kerja ini, ulas Boyamin, akan menjadi perbedaan sepanjang kedua kubu ini tetap bermain di kutub masing-masing.

“Istilahnya gini, kalau KPK itu dalam konteks ini adalah OTT tidak membangun kasus, sementara Kejagung membangun kasus. Istilahnya case building,” sambung Boyamin.

Namun KPK bukan berarti tidak berupaya membangun kasus. Boyamin melihat beberapa upaya dilakukan KPK, misalnya kasus terakhir adalah bansos terkait dengan PT BGR Logistik Indonesia yang salah satunya bekas Direktur Utama Transjakarta diproses dan dicekal karena hasil pengembangan dari OTT kasusnya Juliari Batubara (mantan Mensos).



“Jadi kalau toh KPK itu menggunakan Pasal 2 atau Pasal 3 itu adalah pengembangan dari OTT,” paparnya.

Boyamin mencatat KPK pernah mengembangkan kasus E-KTP pada 2012 dan diproses pada 2014-2015 yang dianggap sebagai prestasi mengungkap kasus besar.

Dari pola kerja saat ini, menurut Boyamin, KPK tampak seperti tidak berusaha menyentuh Pasal 2 dan Pasal 3 sehingga yang diproses adalah kasus-kasus yang berdasarkan OTT. Itu sebabnya tidak akan pernah menemukan kasus besar.

“Karena OTT tidak, kalau bisa yang dikembangkan ya dikembangkan [kasus] kecil-kecil lagi aja dan itu yang susah memang,” kata Boyamin.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya