SOLOPOS.COM - Supriyati guru Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan Terluar dan Tertinggal Universitas Negeri Yogyakarta (SM3T UNY) saat menyaksikan Upacara Caci di Flores.(Istimewa)

Mahasiswa mengajar di tempat terpencil menjadi kenangan bagi Supriyati, ia harus berjalan dua jam demi menghadiri upacara adat

Harianjogja.com, SLEMAN – Supriyati guru Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan Terluar dan Tertinggal Universitas Negeri Yogyakarta (SM3T UNY) berbahagia bisa ikut menyaksikan upacara Caci di Flores. Meskipun, rasa lelah dirasakannya, karena butuh dua jam perjalanan untuk sampai di lokasi upacara caci.

Promosi Program Pemberdayaan BRI Bikin Peternakan Ayam di Surabaya Ini Berkembang

Supriyati berangkat bersama Fidel dan Ester, guru sekolah setempat. Mereka berjalan kaki selama dua jam bukan dibawah sejuknya pepohonan rindang. Namun melalui sawah yang gersang karena musim kemarau telah datang.

Di bawah terik matahari menjadi sangat sejuk bagi tiga orang ini karena canda tawa yang terlontar selaa perjalanan. Bahkan peluh yang bercururan menjadi penghiburan saat mereka sampai di Desa Taen Terong tempat lokasi upacara Caci diselenggarakan.

“Sesampainya di Taen Terong, kami disambut oleh orang tua salah satu siswa,” ingat Supriyati yang baru saja pulang dari Desa Kuwuk, Kecamatan Riung, Kabupaten Ngada, Flores Nusa Tenggara Timur.

Supriyati menjelaskan upacara Caci merupakan salah satu acara adat yang hanya digelar sekali dalam setahun di Flores. Upacara Caci dilaksanakan di Desa Taen Terong yang bertetangga dengan Desa Kuwuk.

Alumni prodi Pendidikan Geografi FIS UNY itu segera keluar rumah dan menyaksikan saat genderang kendang dibunyikan. Tarian itu dimainkan hanya saat musim-musim tertentu, seperti syukuran musim panen, ritual tahun baru, upacara pembukaan lahan, menyambut tamu penting atau upacara adat besar lainnya.

Gadis yang akrab dipanggil Upik mengisahkan bahwa tarian caci adalah tari perang sekaligus permainan rakyat sepasang penari laki-laki dengan menggunakan cambuk yang terbuat dari kulit kerbau atau sapi sebagai aksesori. Selain itu juga digunakan perisai sebagai tameng untuk menangkis.

“Tarian ini mengandung makna ujian keberanian bagi laki-laki. Tiap gerakannya bermakna kejantanan bagi penarinya,” kata Upik.

Para penari bertelanjang dada, hanya ditutup dengan pelindung saja. Pinggang bagian belakangnya dipasang untaian giring-giring yang menghasilkan bunyi setiap penari melakukan gerakan. Topeng atau hiasan kepala dibuat dari kulit kerbau yang keras berlapis kain warna-warni.

Hiasan kepala berbentuk seperti tanduk kerbau dipakai untuk melindungi wajah dari pecutan. Wajah ditutupi kain destar sehingga masih bisa melihat arah gerakan dan pukulan lawan. Bagian kepala dan wajah dililit ketat disekeliling wajah dengan maksud melindungi wajah dan mata dari cambukan.

Seluruh kulit tubuh pemain sebagai sasaran cambukan, kecuali bagian tubuh dari pinggang ke bawah yang ditandai sehelai kain yang menjuntai dari sabuk pinggang. Kulit bagian dada, punggung dan lengan yang terbuka adalah sasaran cambuk.

Walaupun gadis kelahiran Sleman 6 Januari 1990 itu memang miris melihatnya, namun Caci merupakan media pembuktian kekuatan seorang laki-laki. Luka-luka akibat cambukan itu dikagumi sebagai lambang maskulinitas.

“Perjalanan jauh selama dua jam tak sia-sia. Indonesia mempunyai banyak kekayaan budaya yang perlu dilestarikan” tutup Upik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya