SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Oleh: Imam Subkhan

Warga Jaten, Karanganyar

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Soloraya, menjadi sebutan populer akhir-akhir ini dalam merepresentasikan daerah-daerah di Kawasan Subosukawonosraten, yaitu Kota Surakarta, Kabupaten Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen dan Klaten. Namun tidak dipungkiri, masyarakat ketika menyebut Solo, masih sebatas lingkup kota, bukan kawasan yang terdiri dari daerah-daerah tersebut di atas. Saat ini, Solo sendiri telah menjelma menjadi sebuah brand yang tidak hanya dikenal oleh masyarakat di Jawa Tengah, tetapi telah menasional, bahkan mendunia. Mengucap nama Solo, orang pasti akan membayangkan sebuah kota kecil yang unik, khas, kaya akan seni dan budaya Jawa, serta penduduknya yang ramah.

Apalagi di bawah kepemimpinan Joko Widodo, yang akrab disapa Jokowi, Solo semakin moncer saja. Mengusung slogan Solo, The Spirit of Java, berbagai program pencitraan kota dilakukan secara masif. Mulai dari penataan kota, tamanisasi, pengadaan ruang terbuka hijau (RTH), pemugaran tempat-tempat bersejarah, revitalisasi pasar-pasar tradisional serta penyelenggaraan event-event seni dan budaya berskala internasional.

Solo, kini semakin dibanjiri oleh wisatawan, baik dari dalam maupun luar negeri. Bahkan, beberapa agenda penting nasional dan internasional memilih kota Solo sebagai tempat penyelenggaraan. Solo semakin ramai dikunjungi orang, ada yang sekadar singgah, jalan-jalan, berwisata, berbisnis, menghadiri pertemuan dan sebagainya. Hal ini membuat para pelaku usaha di Solo bergeliat, termasuk para investor mulai berdatangan. Maka tidak ayal lagi, Solo lambat laun menjadi pusat perdagangan dan industri. Berbagai industri kreatif dan kuliner baik skala kecil maupun besar bermunculan, bak jamur di musim penghujan.

Makin ramainya Solo, ternyata tidak hanya membawa dampak positif saja, utamanya bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan hidup masyarakatnya, tetapi juga membawa ekses-ekses negatif. Seperti meningkatnya volume kendaraan yang menyebabkan kemacetan di mana-mana, menumpuknya sampah dan limbah, polusi udara dan munculnya perkampungan padat penduduk. Terlebih lagi, saat event digelar seperti Solo Batik Carnival, seluruh ruas jalan dijejali oleh lautan manusia.

Tidak sedikit pun sela atau rongga untuk sekadar menggerakkan tubuh. Sehingga, pertunjukan yang seharusnya untuk dinikmati, malah yang muncul adalah rasa tersiksa dan ketidaknyamanan diri. Tidak mengherankan, jika masyarakat lama-lama enggan untuk menyaksikan, karena sudah membayangkan keruwetannya, apalagi jika harus membawa anak-anak.

Oleh karena itu, sempitnya kota Solo untuk bisa menampung sekian banyak warga, harus menjadi perhatian bagi pemerintah kota dan instansi terkait untuk tidak lagi memusatkan seluruh aktivitas di Kota Solo. Daerah-daerah di sekitarnya harus dilibatkan dan diberdayakan sesuai potensinya masing-masing. Jika Solo atau Surakarta lebih dikenal dengan kekayaan seni dan budayanya yang ditopang oleh keberadaan Keraton Surakarta, maka daerah-daerah sekitarnya juga memiliki keunggulan yang berbeda-beda. Seperti Karanganyar memiliki tempat-tempat bersejarah, wisata alam dan perkebunan yang luas untuk dibudidayakan menjadi agrowisata. Sragen dengan keunggulan Museum Purbakala Sangiran, industri dan pertanian.

Wonogiri unggul di bidang pertambangan, pertanian, kerajinan dan peternakan. Sukoharjo terkenal dengan lumbung padi, kesenian tradisional dan kerajinan tangan. Klaten dengan keberadaan tempat-tempat bersejarah, kerajinan tangan, perikanan dan pertanian. Serta Kabupaten Boyolali yang terkenal dengan susu sapinya, perkebunan, wisata alam dan peternakan. Nah, potensi-potensi ini yang seharusnya bisa disatukan, disinergikan dan digerakkan, sehingga terwujud program pembangunan daerah yang bersifat holistik dan terpadu utamanya di bidang industri, perdagangan dan pariwisata.

Konsep pembangunan hendaknya berkiblat pada prinsip inklusivisme yang mengedapankan aspek-aspek kemanusiaan, keadilan dan kesamarataan, sehingga kue-kue pembangunan bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat tanpa adanya diskriminatif. Sikap-sikap egosentris dan egowilayah yang selama ini masih melekat di kalangan birokrat, pelaku usaha maupun masyarakat harus dihilangkan. Yang dimunculkan adalah semangat membangun bersama, tumbuh bersama, besar bersama dan sejahtera bersama.

Mindset dan kurikulum kesolorayaan

Langkah pertama yang harus dilakukan untuk mewujudkan program pembangunan yang holistik dan inklusif di kawasan Soloraya adalah menyatukan mindset atau pola pikir, utamanya masyarakat. Solo yang sudah menjadi brand, harusnya benar-benar menghujam di sanubari warganya, tidak hanya masyarakat Kota Solo, tetapi daerah-daerah lain yang terhimpun dalam kawasan Subosukawonosraten juga merasa memilikinya.

Walaupun secara geografis dan administrasi kependudukan terpisah oleh sekat-sekat wilayah, tetapi secara pola pikir dan kejiwaan, mereka memiliki satu pandangan. Semisal, jika ada satu daerah yang mendapatkan prestasi atau penghargaan, tidak hanya warga wilayah tersebut yang bersukacita, tetapi daerah lain pun juga merasa bangga untuk mengakuinya.

Mindset ini juga harus merasuk pada para penyelenggara event dan pegiat seni. Di dalam menggelar berbagai pertunjukan seni dan budaya, penentuan tempat seharusnya tidak jadi persoalan. Di mana pun wilayahnya, tetap saja event tersebut milik bersama, tidak berebut untuk mengakuisasi. Oleh karena itu, di dalam penyusunan agenda-agenda kegiatan, harus dilakukan secara bersama-sama, dengan menonjolkan potensi, keunggulan dan kekhasan masing-masing daerah.

Di dalam merubah mindset ini, yang paling ampuh dilakukan adalah melalui jalur pendidikan, mulai dari jenjang pendidikan anak usia dini hingga perguruan tinggi. Oleh karena itu, pada tataran implementasinya, di dalam proses pembelajaran harus tersisipi kurikulum muatan lokal, yaitu materi kesolorayaan. Dimulai dari sejarah keberadaan Karesidenan Surakarta, kekayaan seni dan budaya yang dimiliki, tata nilai masyarakat Solo, serta berbagai potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah di kawasan Soloraya, baik di bidang pertanian, perkebunan, peternakan, pertambangan, perikanan, kerajinan, perdagangan, industri dan pariwisata.

Jika semangat nasionalisme “kesolorayaan” ini sudah terpatri kuat di sanubari para calon generasi penerus kita, maka ketika kelak mereka menjadi pemimpin atau pelaku usaha, akan senantiasa mengedepankan kebersamaan dan menghilangkan ego-ego kedaerahan. Yang tercipta adalah sinergitas yang harmonis dari masing-masing daerah di Soloraya dengan berbasis pada keunggulan dan potensi masing-masing.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya