SOLOPOS.COM - Ilustrasi anak mengalami trauma belajar (Freepik)

Solopos.com, SOLO — Hasil tes Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 menunjukan siswa sekolah dasar di Indonesia menduduki urutan ke 73 dari 79 negara untuk kemampuan matematika.

Guru Besar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UNS Solo, Sumarwati menyebut hasil tes PISA itu menunjukan kemampuan literasi matematik siswa, terutama pada jenjang SD, masih rendah. 

Promosi Selamat! 3 Agen BRILink Berprestasi Ini Dapat Hadiah Mobil dari BRI

Menurutnya kendala yang dihadapi siswa ini tidak berkaitan dengan kemampuan matematika, namun juga kemampuan bahasa. Dia mengatakan kemampuan bahasa menjadi indikator penting untuk memahami soal cerita 

“Padahal soal cerita matematika sejak kelas satu SD itu sudah ditemui, kalau kelas 1 itu masih sekitar 15%. Tapi ketika di kelas 6 itu sudah mencapai 70% dari soal yang harus dipecahkan,” kata dia ketika ditemui Solopos.com di UNS Solo, Senin (3/7/2023).

Sumarwati menyebut jika siswa saja kesulitan memecahkan soal cerita makan akan berdampak pada literasi matematika. Dia menyebut salah satu faktor siswa kesulitan memahami soal cerita lantara soal yang diberikan tidak relevan.

“Misal kelas 2 SD itu belum mengenal kalimat majemuk tapi dalam soal cerita, di dalam buku teks itu banyak sekali kalimat majemuk. Ini tentu akan menghambat pemahaman siswa dalam memaknai bahasa soal,” lanjut dia.

Relevansi cerita di soal matematika terkadang juga tidak disesuaikan dengan latar belakang siswa. Ini membuat siswa yang kritis malah lebih sibuk mempertanyakan logika di dalam soal cerita, bukan fokus pada pemecahan matematika.

“Contohnya kalau ada soal begini, sebuah becak semula berjalan maju sejauh 10 meter kemudian mundur lagi 2 meter, berapa meter dia di posisi semula. Nah, siswa yang kritis bertanya apa becak itu bisa mundur,” kata dia.

Dia menyarankan untuk membantu siswa dalam memahami soal cerita,  terutama untuk soal-soal yang dirasa sulit oleh siswa, guru dapat menggunakan teknik menceritakan.

“Menceritakan itu berarti menyampaikan substansi soal dengan cara mengubahnya dalam bentuk cerita agar konteksnya lebih mudah dipahami siswa,” lanjut dia.

Dia menyebut membuat soal cerita matematika berdasarkan pengalaman yang biasa dialami siswa bakal mudah dipahami. Ini sekaligus bisa membuat pelajaran matematika lebih menyenangkan dan tidak menakutkan.

“Misalnya tokoh yang ada dalam soal diganti dengan nama siswa, nama anggota keluarga, atau orang-orang yang ada di lingkungan hidupnya. Tidak hanya tokoh, penggunaan setting pada dunia nyata siswa juga dapat memperjelas konteks soal,” lanjut dia.

Lebih jauh lagi, menurutnya selama ini upaya  untuk mengatasi permasalahan literasi matematika hanya didekati dengan paradigma ilmu matematika. Padahal menurutnya aspek bahasa juga bisa berperan. “Mulai saat ini dan ke depan juga harus didekati dengan paradigma ilmu bahasa,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya