SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

ilustrasi Ibarat pepatah gajah bertarung, pelanduk mati di tengah-tengah. Itulah yang dirasakan pengelola hotel melati di tengah hadirnya hotel-hotel berbintang di kota ini. Perang tarif yang terjadi antarhotel berbintang membuat hotel melati ibarat menanti saat untuk mati. Okupansi hotel melati yang semula bisa tembus 40%-50% kini tinggal sekitar 20% atau bahkan kurang.

Wakil Ketua PHRI Solo, Abdullah Soewarno, mengungkapkan kehadiran hotel baru langsung memakan pasar hotel melati dan hotel bintang satu, dua dan tiga yang lebih dahulu eksis. Alasannya, hotel-hotel baru tersebut memberikan harga yang tidak beda jauh dari standar harga hotel di kelas tersebut.

Promosi 796.000 Agen BRILink Siap Layani Kebutuhan Perbankan Nasabah saat Libur Lebaran

“Okupansi langsung drop. Nonbintang jualan Rp75.000-Rp200.000, hotel baru bisa jual Rp150.000-Rp200.000. Tempat saya okupansi hanya 26%,” jelas Abdullah, saat ditemui Solopos.com, di hotel miliknya, Mandala Wisata Boutique Hotel, Rabu (16/5/2012).

Menurutnya, hotel baru tepat masuk ke sebuah kota jika okupansi kota tersebut berada di angka 80% ke atas selama tiga tahun berturut-turut. Kondisi Solo, dengan okupansi kota hanya 48,68% (2009); 53,40% (2010); 56,46% (2011), bukanlah kondisi ideal untuk munculnya hotel baru.

Abdullah menilai ada yang janggal dengan banyaknya investasi hotel masuk Solo. Sebagai pengusaha, dia tahu betul sebelum berinvestasi pengusaha harus yakin investasi akan memberi untung. Dalam pertimbangan bisnis, sulit bagi pengusaha memutuskan berinvestasi hotel di kota dengan okupansi yang rendah.

Abdullah curiga investor hotel hanya mengincar kenaikan nilai properti dan mengesampingkan okupansi. “Kenaikan nilai properti bisa lebih dari 20% per tahun, tidak peduli ada tamu atau tidak. Niatnya hanya untuk dapat capital gain (keuntungan diperoleh dari kenaikan nilai investasi-red),” tegas dia.

Hal senada diungkapkan General Manager Karya Sari Hotel & Restoran juga Kusuma Kartika Sari Hotel & Restoran, Sarimin Trjiptimihardjo. Dia mengatakan salah satu hotel yang dia kelola pernah tidak mendapatkan tamu sama sekali. Okupansi hotel tersebut kini di angka kurang dari 20%. Sarimin mengaku 30 kamar di hotelnya bisa terisi jika hotel bintang terdekat tidak lagi bisa menampung tamu. “Tapi itu kan insidental, tidak setiap saat,” ujarnya.

Seperti Abdullah, Sarimin juga sepakat perang tarif yang tidak seimbang antara hotel melati dan bintang membuat tamu semakin menyingkirkan hotel melati. Dia pun menyoroti dugaan aksi berburu capital gain dengan ramai-ramai membangun hotel.

Berdasarkan data PHRI, di Solo ada sedikitnya 83 hotel nonbintang dengan 1.869 kamar. Dari jumlah itu, Abdullah menyebut hampir 10 hotel telah berubah kepemilikan lantaran sang pemilik lama tidak sanggup lagi meneruskan bisnisnya. Beberapa hotel melati yang dijual kemudian menjadi sasaran empuk bagi investor untuk membangun hotel baru.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya