SOLOPOS.COM - Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) hadir di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (1/12/2016). (JIBI/Solopos/Antara/Muhammad Adimaja)

Komisi Yudisial (KY) menyarankan siaran live sidang kasus Ahok dibatasi, misalnya hanya pada pembacaan tuntutan, pledoi, hingga putusan.

Solopos.com, JAKARTA — Juru Bicara Komisi Yudisial (KY) Farid Wajdi menyatakan wacana pelaksanaan sidang siaran langsung atas kasus Gubernur DKI (nonaktif) BTP perlu direspons dalam pelbagai perspektif. Dalam perspektif asas hukum yang berlaku secara universal adalah setiap sidang pada prinsipnya terbuka untuk umum.

Promosi Kisah Petani Pepaya Raup Omzet Rp36 Juta/bulan, Makin Produktif dengan Kece BRI

“Pasal 13 Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali UU menentukan lain,” katanya di Jakarta kepada Bisnis/JIBI, Senin (12/12/2016).

Namun demikian, menurutnya sidang terbuka itu tidak identik dengan menyiarkan secara langsung melalui siaran televisi. Karena itu, belajar dari pengalaman sebelumnya, siaran langsung berpotensi menimbulkan empat masalah terkait dengan independensi peradilan dengan opini publik.

Pertama adalah penghakiman publik. Menurut Farid, martabat dan kehormatan pengadilan dan hakim perlu dijaga sehingga sakralitas pengadilan sebagai benteng keadilan tetap dapat ditegakkan. Siaran langsung dapat berekses pada penghakiman oleh masyarakat, baik kepada kemandirian hakim, pengadilan, maupun kasusnya sendiri.

Kedua, siaran langsung semakin membuka polemik hukum bagi para pakar hukum di luar ruang persidangan. Polemik atau perang opini secara terbuka dalam kasus sensitif perlu dihindari.

Ketiga, ketiadaan sensor dalam siaran langsung. Padahal proses dan fakta persidangan dimungkinkan terjadi. Sebab ada hal-hal sensitif atau memiliki dimensi susila yang tidak sesuai dengan kepatutan untuk dipublikasi secara terbuka.

Keempat, ketentuan pemeriksaan saksi harus diperiksa satu per satu. Pemeriksaan saksi menurut Pasal 160 ayat (1) huruf a KUHAP), saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang. “Saksi-saksi yang diambil keterangannya dipanggil satu per satu [seorang demi seorang] untuk masuk ke ruang sidang. Saksi tidak dibolehkan saling mendengarkan keterangan,” jelasnya.

Kendati demikian, KY tidak berada dalam posisi menghalangi akses publik atas asas keterbukaan informasi dan akuntabilitas proses persidangan. Akses untuk mendapatkan akses informasi secara bebas dan bertanggungjawab harus diakomodasi dan hak masyarakat ditempatkan sebagai prioritas.

Oleh karena itu, siaran langsung harus ada kompromi yakni siaran langsung dapat dilakukan tetapi terbatas. Dalam hal ini, siaran langsung dapat dilakukan pada bagian-bagian tertentu, misalnya pada pembacaan tuntutan, pledoi, dan pembacaan putusan. Sedangkan untuk pemeriksaaan saksi atau hal-hal lain yang tidak patut disiarkan langsung sepatutnya tidak dilakukan siaran langsung.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya