SOLOPOS.COM - Ilustrasi (JIBI/BISNIS/Rahmatullah)

Kurs rupiah belum pulih dari tekanan. Namun BI justru memberikan keleluasaan penggunaan valuta asing (valas) nontunai.

Solopos.com, JAKARTA — Bank Indonesia masih memberikan keleluasaan menggunakan valuta asing ketika bertransaksi nontunai, atas dasar pertimbangan kesiapan dunia usaha. Kendati demikian, bank sentral tidak mengatur masa transisi yang jelas.

Promosi Jaga Jaringan, Telkom Punya Squad Khusus dan Tools Jenius

Kelonggaran itu tertuang dalam Surat Edaran No 17/11/2015 perihal Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Regulasi itu merupakan aturan teknis Peraturan Bank Indonesia No 17/3/PBI/2015 yang terbit akhir Maret. PBI sebelumnya melarang transaksi nontunai valas di dalam negeri mulai 1 Juli.

Surat Edaran menyatakan BI dapat memberikan mengambil kebijakan tertentu alias diskresi jika kewajiban penggunaan rupiah dalam transaksi nontunai menimbulkan masalah bagi pelaku usaha dengan karakteristik tertentu.

Diskresi itu antara lain mempertimbangkan kesiapan pelaku usaha, dalam hal penerapan peraturan memerlukan perubahan sistem atau proses bisnis yang bersangkutan. Meskipun demikian, BI tidak memberikan kepastian mengenai berapa lama pelaku usaha diberi waktu mempersiapkan sistem baru.

“Kami tidak bisa menggeneralisir itu dalam surat edaran. Kami akan lakukan assessment ketika perusahaan mengajukan permohonan (diskresi) untuk mengetahui tingkat kesulitannya. Yang penting, perusahaan sampaikan action plan,” ujar Plt Kepala Departemen Pengelolaan Uang BI Eko Yulianto, Selasa (9/6).

Bank sentral menganggap sulit menetapkan tenggat waktu secara umum mengingat karakteristik perusahaan yang berbeda-beda. “Yang penting kami evaluasi, ini wajar tidak permintaan mereka,” imbuh Direktur Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran Ida Nuryanti.

Selain kesiapan pelaku usaha, kontinuitas kegiatan usaha menjadi perhatian BI dalam memberikan diskresi, khususnya jika pemberlakuan kewajiban rupiah tanpa masa transisi yang cukup dapat memengaruhi kelangsungan kegiatan usaha.

Hal lainnya yang menjadi pertimbangan adalah kegiatan investasi, yakni apabila kewajiban penggunaan rupiah dalam waktu segera dapat mengganggu investasi yang bersangkutan.

Terakhir, kegiatan usaha yang memiliki dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional pun bisa memperoleh pengecualian.

Selain karakteristik di atas, BI mempertimbangkan pula kepatuhan pelaku usaha terhadap ketentuan otoritas, seperti kewajiban penerimaan devisa hasil ekspor, dan penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan utang luar negeri korporasi nonbank.

Dalam penjelasan sebelumnya, bank sentral mengeluarkan PBI sebagai penyempurna UU No 7/2011 tentang Mata Uang yang ‘tumpul’ dalam menerapkan larangan penggunaan valas untuk transaksi residen.

Pelanggar akan dikutip denda sebesar 1% dari nilai transaksi nontunai. Apabila masih membandel, mereka dilarang ikut dalam lalu lintas pembayaran.

Adapun untuk transaksi tunai, pelanggar dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam UU No 7/2011 tentang Mata Uang, yakni kurungan maksimal satu tahun dan denda maksimal Rp200 juta.

BI mencatat nontunai menguasai 95% dari seluruh transaksi valas dalam negeri senilai US$6 miliar per bulan. Sisanya dilakukan secara tunai. Transaksi itu umumnya dilakukan oleh perusahaan manufaktur, seperti tekstil, petrokimia, farmasi, dan ban. BUMN bahkan ikut melakukan transaksi dengan model tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya