SOLOPOS.COM - Ilustrasi pergerakan kurs rupiah (Dwi Prasetya/JIBI/Bisnis)

Kurs rupiah yang menguat sepanjang pekan lalu tak membuat Bank Indonesia mengubah kebijakan moneter.

Solopos.com, JAKARTA — Bank Indonesia menegaskan belum ada perubahan kebijakan moneter meskipun nilai tukar rupiah “terbang tinggi” sepanjang pekan lalu. Pasalnya, risiko eksternal terhadap pasar keuangan domestik dinilai belum sepenuhnya hilang.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) merekam sepekan terakhir rupiah menguat hingga 8,07% setara Rp1.188/dolar AS, dari Rp14.709 (2/10) menjadi Rp13.521 pada penutupan perdagangan pekan lalu, Jumat (9/10/2015). Dari pasar spot, Bloomberg mencatat rupiah ditutup di level Rp13.412/dolar AS.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara menekankan otoritas moneter tetap prudent dan menjaga posisi bias ketat (tight bias). Menurutnya, fokus utama bank sentral masih pada stabilitas. Artinya, ruang untuk penurunan suku bunga acuan atau BI Rate belum terbuka.

Dia menjabarkan, pasar keuangan masih menghadapi risiko penaikan suku bunga the Fed yang diperkirakan mulai pada akhir tahun ini hingga kuartal pertama tahun depan. “Intinya, kami menjaga stabilitas. Karena hanya dengan stabilitas, pertumbuhan ekonomi akan terjadi,” katanya, Jumat (9/11/2015).

Namun demikian, dia mengatakan apresiasi nilai tukar rupiah bisa terus berlanjut karena kepercayaan investor terhadap rupiah sudah mulai pulih. Lebih-lebih, tuturnya, pemerintah dianggap kian serius mengatasi bebagai persoalan struktural.

Mirza mengemukakan syarat agar rupiah terus menguat, yakni perbaikan ekonomi dalam negeri dan rilis data pertumbuhan produk domestik bruto pada kuartal III/2015. Dengan demikian, lanjutnya, tidak hanya kurs rupiah terhadap dolar AS yang terus terangkat, melainkan level fundamental nilai tukar mata uang Garuda juga terus bergerak menanjak.

Dia menuturkan estimasi pengeluaran pemerintah pada Juli-September yang lebih besar ketimbang kuartal pertama dan kedua 2015 akan memberi harapan besar untuk pemulihan ekonomi. Sehingga, lanjutnya, ada energi tambahan bagi rupiah setelah Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan.

Selain itu, Mirza menyebutkan level inflasi yang terus berada pada bentang stabil rendah juga memberi sentimen positif mengenai perbaikan fundamental. Namun demikian, dia memaparkan topik yang masih terus harus dicermati
adalah spekulasi mengenai normalisasi moneter The Federal Reserve dan pelemahan ekonomi China, yang mempengaruhi pelambatan ekspor dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

DBS Bank, bank yang bermarkas di Singapura, mengemukakan penguatan rupiah yang terjadi sepanjang pekan lalu sebagian besar merupakan dampak dari nada dovish dari the Fed dan pelemahan data ekonomi yang tidak diduga dari Negeri Paman Sam.

“Pasar semakin berekspektasi eksekusi normalisasi moneter AS mundur ke awal 2016. Ini yang menjelaskan kenapa rupiah melesat jauh,” ujar DBS dalam riset.

Dalam rilis paket kebijakan moneter edisi II lalu, Deputi Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengutarakan hitung-hitungan otoritas moneter atas nilai fundamental rupiah masih jauh dari level yang diperdagangkan di pasar.

“Hitungan kami, secara rata-rata pada kuartal ketiga itu [nilai fundamental] Rp13.300 per dolar AS, dan kuartal empat Rp13.700 per dolar AS,” kata Perry.

Beriringan dengan penguatan tajam nilai tukar rupiah, cadangan devisa Indonesia pada akhir September berkurang US$3,58 miliar dan kian mendekati level psikologis US$100 miliar sekaligus kembali mencetak rekor terendah baru sepanjang 2015.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya