SOLOPOS.COM - Uang Pecahan Rp.100.000 (Dok/JIBI/Bisnis)

Kurs rupiah dipatok mencapai Rp13.900/dolar AS untuk 2016.

Solopos.com, JAKARTA — Secara mengejutkan, Bank Indonesia kembali menurunkan proyeksi rentang rata-rata nilai tukar (kurs) rupiah menjadi Rp13.400-Rp13.900/dolar AS akibat munculnya fenomena repricing yang terjadi di tiga area dan ketidakpastian global terkait normalisasi moneter Amerika Serikat.

Promosi Tenang, Asisten Virtual BRI Sabrina Siap Temani Kamu Penuhi Kebutuhan Lebaran

Dalam rentang tiga bulan terakhir, BI tercatat telah dua kali mengoreksi estimasi nilai tukar rupiah untuk 2016 dari Rp13.000-Rp13.400 yang pada Juni-Juli dan kemudian menjadi kesepakatan dalam Nota Keuangan RAPBN dan Rp13.400-Rp13.700 pada akhir bulan lalu.

Gubernur BI Agus Martowardojo menjabarkan fenomena reprice melanda pasar uang, yang sangat kentara ketika yuan secara sengaja didevaluasi. Kedua, pasar aset, yaitu obligasi dan saham, serta ketiga, sisi komoditas.

“Ini tren yang sedang melanda. Kami meyakini ada kisaran yang baru yang lebih depresiatif karena kondisi ini meningkatkan ketidakpastian,” ujarnya, Selasa (15/9/2015).

Mengenai rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) AS pada 16-17 September yang menjadi sumber ketidakpastian jangka pendek, Agus menuturkan sejumlah negara kerap menyatakan lebih memilih agar ketidakpastian normalisasi moneter Paman Sam berakhir.

Menurutnya, sikap ini sejalan dengan konsensus analis yang juga menunjukkan The Federal Reserve akan mengeksekusi penaikan pertama pada September, seperti yang telah didengungkan sejak quantitative easing berakhir Oktober tahun lalu.

Namun, Gubernur BI menambahkan, kalaupun Bank Sentral AS benar menaikkan tingkat bunga, maka jalur yang ditempuh akan sangat perlahan dan berkala. Selain itu, dia menyatakan Gubernur the Fed Janet Yellen telah berjanji untuk sangat memerhatikan dampak normalisasi moneter terhadap negara-negara berkembang di dunia.

“Tapi tentu, kebijakan yang mereka ambil adalah yang terbaik untuk negaranya.”

Dari 96 ekonom yang disurvei Bloomberg, sebanyak 45 ekonom memprediksi the Fed akan menahan suku bunga di level 0%-0,25%, 48 ekonom memproyeksi Bank Sentral AS tetap memulai normalisasi dengan menaikkan ke level 0,5% dan sisanya mengambil jalan tengah dengan perhitungan kenaikan 0,125%.

Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menjabarkan dari segi waktu, the Fed memang harus memulai menaikkan suku bunga acuan. Namun, implikasi yang diterima ketika Fed Funds Rate naik akan sangat signifikan bagi perekonomian global.
“Mungkin akan delay lagi, karena kondisi China ya. Tapi saya tetap melihat, kok tetap harus dinaikkan tahun ini. Karena kalau memakai Taylor Rule, tingkat bunga AS saat ini harus sudah di atas 1%,” katanya.

Agus melanjutkan, dampak positif yang lahir dari depresiasi nilai tukar terhadap sisi ekspor juga tidak terlihat karena kontraksi harga komoditas ternyata cenderung lebih dalam ketimbang survei sebelumnya.

Dengan mengutip Indeks Harga Komoditas Ekspor Indonesia (IHKEI) terbaru, Agus menyebutkan penurunan harga komoditas mencapai 16%, dari perkiraan sebelumnya sekitar 11%. Bahkan, penurunan lebih tajam dialami oleh delapan komoditas ekspor utama Indonesia, dari indeks sebelumnya yang hanya turun 18% menjadi 20%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya