SOLOPOS.COM - Ilustrasi industri pembuatan tahu. (JIBI/Solopos/Antara)

Kurs rupiah yang masih lemah mengakibatkan biaya produksi pembuatan tahu melambung.

Harianjogja.com, BANTUL-Dari sekian banyak sektor bisnis, perajin tahu menjadi objek paling terdampak dari melemahnya rupiah.

Promosi Efek Ramadan dan Lebaran, Transaksi Brizzi Meningkat 15%

Heri Santosa, salah satu perajin tahu di Dusun Ngoto, Desa Bangunharjo, Kecamatan Sewon, Bantul mengatakan sejak rupiah menembus angka Rp13.000 per dolar AS, ia harus putar otak agar usahanya tetap berjalan. Sebab, sejak usahanya berdiri 1998 ia mengimpor bahan baku kedelai dari Amerika. Sebelum rupiah melemah, harga kedelai Rp8.000 namun saat ini mencapai Rp8.500 per kilogram.

“Daya jual turun. Ya kira-kira sampai 20%. Pelanggan yang biasa minta 15 plastik sekarang cuma 10 aja,” kata Heri saat ditemui di rumahnya.

Di sisi lain ia tak berani menaikkan harga tahu karena pasti tidak laku.

“Dua cara yang saya lakukan. Pertama, ukurannya [tahu] dikecilin. Biasanya potongannya [satu cetakan tahu] 10×10 sekarang 11×11. Kedua, dikurangi timbangannya. Biasanya sekali masak delapan kilo sekarang 7,5,” ungkapnya.

Anggota Paguyuban Perajin Tahu Agawe Makmur Ngoto ini memang tidak berani menaikkan harga. Masih sama dengan sebelumnya, satu plastik isi 10 biji ukuran sedang ia jual Rp5.000 sedangkan ukuran kecil Rp3.000.

“Harga dan jumlah tetap sama. Hanya ya itu tadi, standar ukurannya dikecilin. Gitu aja pelanggan sudah pada komplain, apalagi kalau harga saya naikin,” tandasnya.

Mau tidak mau, pihaknya harus bertahan dengan kedelai impor. Pasalnya jika bahan baku tahu diganti dengan kedelai lokal, tidak ada stok banyak di Indonesia. Terlebih kualitasnya lebih rendah dibandingkan kedelai impor.

Mengurangi ukuran tahu menjadi pilihan Sukomaryanto, salah satu perajin tahu di Dusun Kaliwiru, Desa Tuksono, Sentolo agar usahanya tetap bertahan. Sukomaryanto mengaku terpaksa mengambil jalan tersebut. Pasalnya, perajin tidak dapat menaikkan harga, karena tahu yang dijual ke pasar tidak akan laku. Selain itu, jika kenaikan kedelai mencapai harga Rp9.000 per kilogramnya, puluhan perajin di beberapa dusun di Desa Tuksono terancam gulung tikar. Dia mengatakan, di Dusun Kaliwiru saja ada lebih dari 50 perajin tahu.

“Waktu harga kedelai naik sampai Rp9.000, banyak yang tutup. Ini baru banyak yang mulai bangkit, kalau sampai naik lagi harganya, kemungkinan bisa benar-benar banyak yang tutup,” ungkap Sukomaryanto.

Ironisnya, kenaikan nilai kurs dolar terhadap rupiah tidak memengaruhi produk lokal asal Kulonprogo yang
menembus pasar ekspor. Salah satu komoditas unggulan kabupaten ini yakni gula semut organik yang diproduksi Koperasi Jatirogo. Pasar utama dari produk ini adalah Amerika Serikat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya