SOLOPOS.COM - Demonstran pendukung Presiden terguling Mohamed Morsi berduka saat pemakaman dua rekan mereka yang tewas dalam bentrokan terbaru di Rabaa Adawiya Square, Kamis (1/8/2013). Pemerintah yang didukung militer Mesir mendesak pendukung Morsi meninggalkan kamp mereka dengan menjanjikan perlindungan jika mereka menyerah tanpa perlawanan. (JIBI/Solopos/Reuters/Amr Abdallah Dalsh)

pemakaman demonstran mesir

Demonstran pendukung Presiden terguling Mohamed Morsi berduka saat pemakaman dua rekan mereka yang tewas dalam bentrokan akhir pekan lalu di Rabaa Adawiya Square, Kamis (1/8/2013). Pemerintah yang didukung militer Mesir mendesak pendukung Morsi meninggalkan kamp mereka dengan menjanjikan perlindungan jika mereka menyerah tanpa perlawanan. (JIBI/Solopos/Reuters/Amr Abdallah Dalsh)

Solopos.com, KAIRO — Militer Mesir kembali menggaungkan rencana pembubaran unjuk rasa yang dilakukan oleh pendukung presiden terguling Mohamed Morsi. Sebagai balasan tuduhan militer itu, pengunjuk rasa pro Morsi justru menyerukan “demonstrasi jutaan orang” Jumat (2/8/2013) ini. Negeri piramida itu kembali dibayang-bayangi kemungkinan bentrokan berdarah.

Promosi BRI & E9pay Perkuat Kolaborasi Tingkatkan Layanan Finansial bagi PMI di Korsel

Wacana pembubaran pengunjuk rasa pro Morsi itu dikemukakan pemerintah bentukan militer yang 3 Juli 2013 lalu melakukan kudeta, Kamis (1/8/2013). Padahal massa pro Morsi yang dimotori jemaah Ichwanul Muslimin bertekad melakukan aksi pendudukan sejumlah lokasi di Kota Kairo demi mengekspresikan tuntutan mereka agar militer mengembalikan kedudukan presiden yang terpilih dalam pemilu yang demokratis itu.

Ribuan simpatisan Morsi dan jemaah Ikhwanul Muslimin selama hampir satu bulan telah mengadakan unjuk rasa dengan berkemah di dua lokasi berbeda sekitar ibu kota Mesir itu. Mereka bersumpah akan tetap bertahan sampai Morsi dikembalikan ke kursi kepresidenan.

Pemerintah sementara Mesir mengatakan bahwa dua lokasi demonstrasi tersebut telah mengancam keamanan nasional dan mengganggu lalu lintas jalan umum, bahkan sempat menyebut aksi damai itu sebagai “terorisme”. Pemerintah pun menginstruksikan kepada menteri dalam negeri untuk “mengatasi bahaya tersebut dan mengakhirinya”, namun instruksi tersebut tidak merinci tenggat waktunya.

Padahal kebijakan tersebut dinilai dapat membawa Mesir pada peristiwa berdarah yang baru. Sebelumnya, Sabtu (27/7/2013) lalu, pasukan bersenjata negara itu telah menembak mati lebih dari 70 orang pengunjuk rasa pro Morsi. Jumlah itu melengkapi total korban tewas akibat kekerasan pascakudeta yang telah mendekati 300 jiwa.

Tindakan itu kemudian memicu kekhawatiran global bahwa militer Mesir berencana membubarkan Ikhwanul Muslimin yang pada masa Husni Mubarok juga harus bergerak di bawah tanah. Lebih jauh lagi, pengumuman rencana pembubaran demonstrasi yang baru, juga dinilai dapat membahayakan usaha Uni Eropa yang sedang menegosiasikan penyelesaian damai.

Utusan Uni Eropa Bernadino Leon, Rabu (31/7/2013), mengunjungi Kairo untuk mempercepat usaha mediasi antarkubu. Menteri Luar Negeri Jerman, Guido Westerwelle, Kamis, juga terbang ke Mesir untuk membantu negosiasi.

Nyatanya, pemerintah sementara bentukan militer tetap saja menyatakan bahwa ribuan simpatisan Morsi yang sedang berkemah mempunyai senapan. Menanggapi tuduhan itu, pihak demonstran pun sontak mengelak. Menurut mereka, pihak militer hanya mencari alasan untuk membenarkan upaya pembubaran paksa.

“Mereka mencoba hal itu dua kali dan mereka gagal. Mereka juga telah membunuh 200 simpatisan. Apakah hal itu akan dilakukan lagi?” tanya juru bicara demonstran Gehad El-Haddad seperti dikutip Reuters.

Jika iya, massa pro Morsi menegaskan tekad bahwa mereka tak gentar dan justru menentang kebijakan pemerintah bentukan militer pelaku kudeta itu. Ikhwanul Muslimin misalnya, justru menyerukan kepada jemaahnya untuk mengikuti “demonstrasi jutaan orang”, Jumat ini.

Langkah itu menurut Haddad berguna untuk menunjukkan kepada dunia betapa rakyat Mesir tak menghendaki kudeta dan kekerasan militer. Keyakinan Haddad bahwa dunia cukup peduli ditunjukkan dengan datangnya utusan Uni Eropa Leon ke perkemahan utama mereka di depan Masjid Rabaa Al Adawiya, Rabu lalu.

“Kudeta militer ini tidak dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat. Saya pikir Leon telah mengerti pesan tersebut,” kata Haddad.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya