SOLOPOS.COM - Mantan Kapolda Sumatra Barat, Irjen Pol Teddy Minahasa Putra menyapa wartawan seusai menjalani sidang tuntutan terkait kasus narkoba di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Jakarta, Kamis (30/3/2023). (Antara/Aprillio Akbar)

Solopos.com, JAKARTA — Pertimbangan hakim yang meringankan hukuman Irjen Pol Teddy Minahasa dari tuntutan mati menjadi penjara seumur hidup karena punya banyak penghargaan mendapat sorotan tajam.

Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Hibnu Nugroho menyebut pertimbangan hakim meringankan hukuman Teddy itu aneh.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Unsoed itu, banyaknya penghargaan yang dimiliki Teddy seharusnya membuat jenderal bintang dua Polri itu menjadi contoh yang baik dalam penegakan hukum, bukan sebaliknya yang justru terlibat dalam kasus narkoba.

Apalagi, narkoba yang dijual itu dari hasil menilap barang bukti penyitaan oleh anak buah Teddy Minahasa terhadap para tersangka penyalahgunaan narkoba.

“Seseorang yang mendapatkan penghargaan seharusnya konsisten sehingga jika itu dijadikan dasar pertimbangan yang meringankan, diragukan penghargaan yang diberikan,” tegasnya seperti dikutip Solopos.com dari Antara.

Terkait dengan hal itu, dia mengharapkan masalah banyaknya penghargaan yang pernah diraih terdakwa tidak lagi menjadi pertimbangan yang meringankan terutama dalam kasus serupa.

Dia mengatakan dakwaan yang disampaikan oleh penuntut umum atas kasus narkoba yang menjerat Teddy Minahasa itu terbukti.

Menurut hakim, terdakwa terbukti memperjualbelikan barang bukti narkotika golongan I yang beratnya lebih dari 5 gram.

“Jadi, Pasal 114 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP terbukti semua,” jelasnya.

Kendati demikian, dia mengatakan terkait dengan masalah hukuman yang dijatuhkan itu relatif karena ancaman pidana dalam pasal yang didakwakan terdiri atas penjara selama 20 tahun, seumur hidup, dan hukuman mati.

“Itu suatu pilihan. Artinya, negara ketika melakukan suatu pembuktian terhadap Teddy Minahasa, apa yang dilakukan terbukti dan cukup mempunyai nilai pemberatan dari apa yang disampaikan,” tegas Prof Hibnu.

Ia mengakui kasus narkoba merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), sehingga ketika melihat pidananya itu suatu pilihan.

“Makanya kalau kita konsisten dalam rangka pemberantasan, harusnya pidana mati. Ini ‘kan terdakwa tidak mendukung adanya pemberantasan tindak pidana korupsi, terdakwa juga berbelit-belit, terdakwa juga tidak mengakui perbuatannya, terdakwa merusak citra polisi, terdakwa seorang polisi, Kapolda yang tidak mempunyai nilai sebagai panutan kepada bawahannya,” katanya.

Dengan berbagai hal yang memberatkan tersebut, kata dia, vonis seumur hidup sudah bisa diberikan kepada Teddy Minahasa.

Menurut dia, hal itu disebabkan dalam pelaksanaan pidana mati ke depan pun jika melihat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru ada suatu persyaratan menjadi tidak dipidana mati.

“Jadi suatu yang realistis sebetulnya ketika ada perubahan undang-undang baru bahwa terhadap pidana mati bisa menjadi pidana seumur hidup,” jelasnya.

Hanya saja pertanyaannya ke depan, kata dia, jika masih ada upaya hukum atas vonis terhadap Teddy Minahasa tersebut jangan sampai pidananya berkurang lagi.

Lolos Hukuman Mati

Seperti diberitakan, mantan Kapolda Sumatra Barat Irjen Pol Teddy Minahasa lolos dari hukuman mati karena dianggap punya banyak penghargaan selama 30 tahun menjadi polisi.

Faktor banyak penghargaan itu dilihat majelis hakim sebagai hal yang meringankan hukuman terdakwa kasus penilapan barang bukti sabu-sabu (SS) seberat 5 kg itu.

“Hal-hal yang meringankan terdakwa Teddy Minahasa, yakni pertama terdakwa belum pernah dihukum selama menjadi anggota Polri dan terdakwa telah mengabdi menjadi anggota Polri selama 30 tahun dan mendapat banyak penghargaan,” ujar Ketua Majelis Hakim PN Jakarta Barat, Jon Sarman Saragih, dalam sidang pembacaan putusan, Selasa (9/5/2023).

Seperti diketahui, sebelumnya jaksa menuntut Teddy Minahasa dihukum mati karena terbukti menilap barang bukti SS seberat 5 kg.

Sementara ada beberapa hal yang memberatkan terdakwa.

Pertama adalah karena Teddy Minahasa tidak mengakui perbuatannya dan membuat penyangkalan.

“Yang pertama adalah terdakwa tidak mengakui perbuatannya, yang kedua terdakwa menyangkal dengan cara memberikan keterangan berbelit-belit,” ungkap hakim Jon Sarman Saragih, seperti dikutip Solopos.com dari Antara.



Selain itu, terdakwa juga telah menikmati keuntungan dari hasil penjualan barang bukti sabu-sabu.

Yang menyedihkan, menurut hakim, terdakwa merupakan anggota Polri dengan jabatan Kapolda Sumatera Barat.

Sebagai seorang penegak hukum terlebih dengan tingkat jabatan Kapolda, seharusnya terdakwa menjadi garda terdepan dalam memberantas peredaran gelap narkotika.

Namun terdakwa justru melibatkan diri dan anak buahnya dengan memanfaatkan jabatannya dalam peredaran gelap narkotika sehingga sangat kontradiksi dengan tugas dan tanggung sebagai Kapolda.

“Hal itu tidak mencerminkan sebagai seorang aparat penegak hukum yang baik dan mengayomi masyarakat,” ungkapnya.

Intinya, kata hakim, perbuatan terdakwa telah merusak nama baik institusi Kepolisian.

Selain itu, perbuatan terdakwa sebagai Kapolda telah mengkhianati perintah Presiden dalam penegakan hukum dan pemberantasan peredaran gelap narkotika.

“Terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan peredaran gelap narkotika,” kata Jon.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya