SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

“Polisi siap membantu bapak menyelidiki pencurian di rumah bapak. Namun kami perlu biaya. Bapak bisa membantu tidak? kata seorang polisi dengan nada tenang dan ” tanpa dosa”di Jakarta pada satu saat ketika menerima pengaduan seorang warga bahwa rumahnya didatangi pencuri.

Begitu mendengar pertanyaan atau bahkan”perintah” sang abdi hukum itu, langsung saja warga Jakarta itu kabur atau meninggalkan pos polisi itu. Dan ternyata tidak ada satu polisi pun yang mau mengusut kasus pencurian itu. Kasus semacam ini telah terulang kali terjadi karena warga yang menjadi korban pencurian tidak mau memberi ” imbalan” kepada jajaran Polri.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Sementara itu, masih banyak kasus memalukan lainnya yang terjadi mulai dari sang polisi minta uang pada saat seseorang ingin memiliki surat izin mengemudi hingga polisi yang “bersembunyi” di pojok jalan hanya untuk memeras orang yang bisa dituduh melanggar peraturan lalu lintas.

Kini selama beberapa hari terakhir ini masyarakat di seluruh tanah air digemparkan lagi oleh berita-berita yang melibatkan seorang inspektur jenderal atau mayor jenderal yang diduga terlibat dalam kasus korupsi pengadaan alat simulator yang nilainya tidak kurang dari sekitar Rp198 miliar.

Tokoh itu adalah Djoko Susilo yang kini menduduki jabatan Gubernur Akademi Kepolisian atau Akpol dan dugaan korupsi itu terjadi saat Irjen Djoko Susilo menjadi Komandan Korps Lalu Lintas Mabes Polri atau Korlantas beberapa tahun silam. Saat itu, Polri membutuhkan ratusan alat simulator bagi motor dan kendaraan beroda empat sehingga perlu dilakukan “kerja sama” dengan para pengusaha.

Mabes Polri ingin membeli 700 simulator sepeda motor serta 556 simulator mobil. Harga satu simulator motor adalah Rp77,79 juta sedangkan harga simulator mobil tidak kurang dari Rp256,142 juta. Diperkirakan telah terjadi mark up atau penggelembungan harga antara polisi dengan dua perusahaan sehingga diduga negara dirugikan Rp100 miliar.

Selain Irjen Djoko Susilo, kasus ini diduga melibatkan Brigadir Jenderal Didik Purnomo yang dianggap bertanggung jawab sebagai Pejabat Pembuat Komitmen alias PPK. Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK telah meningkatkan status ini dari penyelidikan ke penyidikan.

Kasus simulator ini menjadi sorotan publik karena selain melibatkan dua perwira tinggi Polri juga karena saat para petugas KPK mendatangi kantor Korlantas sempat dihalang-halangi oleh polisi yang bertugas di Korlantas. Baru setelah Ketua KPK Abraham Samad bertemu dengan Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri Komisaris Jenderal Sutarman akhirnya ketegangan ini mulai sedikit “mencair” karena para penyidik KPK bisa membawa pergi dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pengadaan ratusan simulator tersebut.

Makin Panjang
Jenderal terlibat? Dugaan keterlibatan dua jenderal Polri ini menambah panjang daftar kasus korupsi yang terjadi di jajaran Polri. Beberapa waktu lalu, nama sejumlah jenderal juga muncul ke “permukaan” karena mereka diduga memiliki uang yang tidak sedikit jumlahnya yakni miliaran rupiah sehingga disebut kasus “rekening gendut”. Namun ternyata Mabes Polri dengan “cerdiknya atau pintarnya” berhasil menghapus kasus ini dari gunjingan atau obrolan masyarakat umum.

Jika kasus “rekening gendut” berhasil diredam pimpinan Polri, maka pertanyaan yang kini muncul adalah apakah kasus Djoko Susilo ini juga akan berhasil “dihapuskan” dari muka bumi oleh pimpinan Polri? Pertanyaan yang sederhana ini wajar saja muncul karena tentu pimpinan Polri tidak ingin nama instansi ini makin tercoreng oleh ulah atau tingkah laku para jenderalnya. Apalagi orang-orang yang mengerti hukum pasti menyadari bahwa ada prinsip asas praduga tak bersalah.

Sekalipun ada asas praduga tak bersalah, maka orang tentu akan bertanya-tanya terutama kepada Abraham Samad yang memimpin KPK kenapa lembaga pemberantasan korupsi tersebut berani mengungkit-ungkit kasus yang melibatkan Djoko Susilo yang masih dinas aktif sebagai Gubernur Akademi Kepolisian atau Akpol dan juga Brigjen Didik Purnomo.

Tentu KPK mempunyai alasan-alasan atau bukti-bukti yang sangat kuat sehingga berani meningkatkan pemeriksaan kasus ini dari penyelidikan ke penyidikan, apalagi Djoko Susilo telah dikenakan status cegah dan tangkal sehingga dia tidak bisa bepergian ke luar negeri. Rasanya masyarakat juga memperhatikan bahwa praktis tidak pernah KPK gagal membawa seorang tersangka menjadi tersangka di “meja hijau” Kasus simulator ini menjadi menarik karena kini telah sedikitnya dua perwira tinggi Polri dianggap telah terlibat. Apakah mungkin hanya Djoko Susilo dan Didik Purnomo yang “terjun” tanpa melibatkan jenderal-jenderal lainnya ataupun para perwira menengah lainnya.

Djoko Susilo dikenal di kalangan internal Polri sebagai orang yang “baik dan cerdas” karena antara lain yang memprakarsai dibentuknya National Traffic Management Center atau NTMC yang setiap harinya siap melaporkan situasi lalu lintas di berbagai kota.

Banyak Fasilitas
Karena kasus simulator ini, maka tentu masyarakat boleh dan berhak bertanya kenapa kasus korupsi harus sampai melibatkan para jenderal, walaupun nanti pengadilanlah yang akan memutuskan mereka bersalah atau tidak. Korupsi itu dilakukan karena gaji jenderal yang “kurang” atau karena mereka rakus.

Padahal orang tahu perwira tinggi Polri ataupun TNI berhak menikmati banyak sekali fasilitas yang sangat “aduhai” mulai dari mobil dinas, rumah jabatan, tunjangan jabatan yang jutaan rupiah, dihormati ke mana pun mereka pergi. Fasilitas yang amat nikmat itu sampai kapan juga tidak akan pernah bisa diraih atau dinikmati oleh para brigadir sampai komisaris yang mana pun.

Orang banyak tentu sangat berharap kasus Djoko Susilo dan Didik akan semakin terbuka secara jelas hingga tuntas terutama di pengadilan tindak pidana korupsi. Nanti akan ketahuan apakah kedua jenderal ini memang tidak bersalah atau justru terbukti “dosanya”. Kalau sudah jatuh vonis tentu rakyat ingin tahu masih adakah jenderal-jenderal lainnya yang terlibat dalam kasus-kasus mark lainnya.

Kehidupan sehari-hari rakyat jelata sudah semakin berat akibat naiknya atau bahkan melonjaknya harga berbagai kebutuhan sehari-hari serta biaya pendidikan dan lain-lain. Akan tegakah para jenderal melihat makin banyak orang miskin di tanah air sedangkan mereka bisa hidup cukup bahkan mewah akibat mark up berbagai proyek pemerintah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya