SOLOPOS.COM - Eko Pece saat tampil membawakan karya garapannya berjudul Vol di Freiburg Theatre, Bertoldstraße, Jerman, Minggu (6/4/2014). Tak hanya tampil membawakan karya terbarunya, koreografer asal Solo ini juga mendapatkan penghargaan budaya dari Pemerintah Jerman atas kiprah dan sumbangsihnya di panggung seni tari. (JIBI/Solopos/Istimewa)

Koreografer asal Solo Eko Pece menggarap karya yang terinspirasi dari tari Likurai dan tenin Belu.

Solopos.com, SUKOHARJO — Selesai dengan trilogi Jailolo, koreografer Solo Eko “Pece” Supriyanto kembali menggarap karya baru berdasarkan pada kebudayaan ujung Timur Indonesia. Kali ini ia bakal menciptakan tarian yang sepenuhnya terinspirasi dari gerakan Tari Likurai dan tenun Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Promosi BRI Sukses Jual SBN SR020 hingga Tembus Rp1,5 Triliun

Saat berbincang dengan  di The Park Mall Solo Baru Grogol Sukoharjo beberapa waktu lalu, Eko, mengatakan Likurai menjadi bagian penting dari masyarakat Belu. Anak-anak kecil hingga orang tua menguasai tarian yang dulu hanya ditampilkan untuk menyambut pahlawan sepulang dari medan perang. Sekarang Likurai berkembang sebagai tari perayaan dan sambut tamu.

Mengawali project-nya Eko bersama ISI Solo dan pemerintah setempat mengadakan Festival Fulan Fehan bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober lalu. Tarian massal yang melibatkan ribuan penari tersebut bahkan berhasil memecahkan rekor dunia.

“Kalau yang festival Fulan Fehan itu MOU antara ISI Solo dengan Belu dalam project tourism, dan rencananya bakal menjadi festival tahunan di sana. Setelah itu saya baru memulai project pribadi saya dalam trilogi tari kontemporer soal migrasi tubuh,” kata dia.

Narasi Likurai

Sama halnya dengan Jailolo, karya Likurai bakal dibuat dalam bentuk trilogi. Karya pertama berupa lecture performance yang melibatkan satu sesepuh Belu dan penari muda. Tak hanya menari mereka juga bakal mengupas sejarah Likurai dan tenun yang seolah menjadi bagian penting dari masyarakat setempat.

Karya kedua berupa tarian tunggal yang mengangkat soal migrasi tubuh dan perbatasan bertajuk Body of Border. Body of Border yang gerakannya merupakan hasil eksplorasi gerakan Likurai dan tenun Belu ini membahas permasalahan tubuh di perbatasan, identitas kewarganegaraan, warna kulit, hingga rasisme.

Tak seperti Jailolo yang melibatkan anak-anak muda, kali ini Eko mengajak sesepuh daerah setempat untuk menguatkan narasi sejarah. Hal itu dia gambarkan pada karya ketiga yang bakal melibatkan lima ibu-ibu penari Belu.

Eko mengatakan project ini digarap setelah melakukan riset hampir satu tahun. Latihan trilogi Likurai baru dimulai tahun depan. Sementara penampilan perdananya dibuka dengan karya pertama di Sidney 2019.

“Ini project-nya bisa sampai empat lima tahun ke depan. Sejarah Likurai perlu saya tekankan karena menyangkut tradisi lisan dan visual. Seperti kebiasaan ibu-ibu disana yang sampai membuat tato di tangan mereka dengan tenun Belu untuk menghafal motifnya,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya