SOLOPOS.COM - Ilustrasi toleransi dalam keberagaman. (freepik)

Solopos.com, SOLO Dukungan masyarakat Jawa Tengah (Jateng) terhadap kekerasan ekstrem atau ekstremisme berbasis agama cenderung rendah. Namun, beberapa daerah menunjukkan dukungan cukup tinggi terhadap jenis kekerasan ini. Kecenderungan politik — termasuk di daerah yang dulu jadi basis massa atau kantong Partai Komunis Indonesia alias PKI — serta kondisi ekonomi ikut berkorelasi.

“Saya mengajak untuk menolak ekstremisme, menolak politisasi identitas, menolak politisasi agama. Mari kita menyambut pesta demokrasi Pemilu 2024 dengan kedewasaan, dengan suka cita, dengan memegang teguh dan nilai-nilai Pancasila, memperjuangkan Indonesia maju yang adil yang sejahtera serta berwibawa di kancah dunia,” kata Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat berpidato dalam upacara peringatan Hari Lahir Pancasila di pelataran Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Kamis (1/6/2023).

Promosi Cerita Klaster Pisang Cavendish di Pasuruan, Ubah Lahan Tak Produktif Jadi Cuan

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebut potensi radikalisme dan terorisme menunjukkan penurunan. Tetapi, kasus-kasus ekstremisme dan potensi penyebaran radikalisme masih terjadi, termasuk di Jawa Tengah.

Data yang dihimpun Espos dari berbagai publikasi Setara Institute menunjukkan selama 2007–2020 kasus-kasus intoleransi selalu terjadi setiap tahun. Pada era pemerintahan Presiden Jokowi yang dianggap lebih mengakomodasi kelompok-kelompok minoritas daripada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kasus-kasus intoleransi juga masih terjadi dan menimpa warga minoritas.

Hasil survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) di DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur pada 16–29 Mei 2022 menunjukkan potensi ekstremisme itu masih ada. Itu terlihat dari dukungan sebagian masyarakat terhadap aksi kekerasan ekstrem dan terhadap kelompok pelaku kekerasan ekstrem.

Ada tiga topik pertanyaan dalam survei ini. Pertama, seberapa besar dukungan publik di Jawa Tengah terhadap kekerasan ekstrem dan organisasi kekerasan ekstrem di Jawa Tengah. Kedua, bagaimana tingkat intoleransi di Jawa Tengah. Ketiga, bagaimana pengalaman dan sikap dalam hubungan antaragama di Jawa Tengah.

Untuk mengukur pandangan publik terhadap kekerasan ekstrem, periset memberikan pertanyaan apakah responden setuju atau tidak setuju terhadap sejumlah tindakan. Tindakan itu antara lain ikut berperang di negara lain untuk membela umat seagama yang dianiaya, membalas tindakan anggota kelompok yang menyerang “agama saya”, serta mendukung organisasi yang memperjuangkan “agama saya” meski terkadang melanggar hukum atau menggunakan kekerasan.

Persetujuan

Hasilnya, untuk tindakan pertama, sekitar tiga dari 10 orang setuju atau sangat setuju ikut berperang di negara lain untuk membela saudara seagama yang dianiaya. Untuk tindakan kedua, 12% setuju atau sangat setuju melakukan balas dendam kepada kelompok yang menyerang agama mereka.

Terhadap organisasi yang memperjuangkan “agama” dan melanggar hukum, hanya 5% dari mereka yang setuju. Sedangkan terhadap organisasi yang memperjuangkan “agama” dan menggunakan kekerasan, hanya 4% yang setuju.

“Persoalan dendam dan mempertahankan diri ini membuat dukungannya lebih tinggi daripada memperjuangkan organisasi yang melakukan kekerasan. Kalau kita bikin skala, dukungan ini termasuk rendah. Dari skala 1–5, hasilnya dukungan di Jateng untuk keempat hal ini tergolong rendah,” kata akademikus Universitas Sebelas Maret (UNS) dan peneliti senior LSI, Hendro Prasetyo, dalam diseminasi hasil survei di Solo Paragon Hotel, Solo, Kamis (15/6/2023).

Di tingkat nasional, indeks dukungan terhadap kekerasan ekstrem atau ekstremisme sedikit lebih tinggi daripada Jawa Tengah. Karena itu, LSI menyimpulkan dukungan terhadap kekerasan atas nama ideologi atas nama agam termasuk rendah. Dia juga mencatat dukungan terhadap kekerasan ekstrem itu lebih tinggi pada kelompok umur 21 tahun ke bawah.

Begitu pula dalam hal dukungan terhadap organisasi-organisasi ekstrem seperti Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Jamaah Islamiyah (JI). Riset ini menunjukkan dukungan terhadap organisasi-organisasi ekstremisme tersebut di Jawa Tengah tergolong rendah.

Mayoritas responden mengetahui ISIS (71,4%). Dari mereka yang tahu, 90% atau hampir seluruhnya tidak setuju. Hanya 1,5% yang ragu antara setuju dan tidak setuju.

“Survei ini dilakukan setelah FPI tidak ada. Dari perspektif demokrasi tentang kebebasan berserikat, ini adalah pembubaran. Masyarakat yang tahu FPI 64%, ini tinggi. Yang mendukung ada 12% di Jateng, lebih rendah daripada nasional, tetapi cukup tinggi. FPI ini bukan organisasi yang tidak ada pendukungnya, meskipun sekarang ini pendukungnya tidak besar,” kata Hendro.

Sedangkan HTI hanya diketahui 31,8% atau kurang dari sepertiga responden. Dari mereka yang tahu, mayoritas atau 66,7% menyatakan tidak setuju. Popularitas JI lebih tinggi daripada HTI, yakni 34,6% atau lebih dari sepertiga. Dari mereka yang tahu, yang tidak setuju 55% atau lebih rendah daripada yang tidak setuju terhadap HTI.

“Kita tahu HTI tidak melakukan kekerasan. Tetapi di beberapa negara, HT dilarang karena mereka menggunakan kekerasan. Pembubaran HTI dilakukan dengan paksa, ini cukup disayangkan oleh kawan-kawan aktivis. Terlepas dari apa yang mereka lakukan, pembubaran semestinya melalui proses yang demokratis.”

Lalu apa yang membuat sebagian masyarakat masih mendukung kekerasan ekstrem dan kelompok yang melakukannya? LSI menemukan hal ini terkait intoleransi. Semakin tidak toleran, semakin besar kecenderungan mendukung kekerasan ekstrem.

Intoleransi

Dalam survei ini, LSI menggunakan definisi intoleransi seperti yang dikatakan Sullivan, Piereson, dan Marcus (1993). Intoleransi didefinisikan sebagai sikap tidak memberi kesempatan bagi kelompok lain untuk memperoleh hak-hak dasar sebagai warga negara, politik, dan agama. Dukungan terhadap ekstremisme di Jawa Tengah ini dibandingkan dengan tingkat ketidaksukaan mereka terhadap kelompok lain.

Saat ditanya kelompok agama apa yang tidak disukai, mayoritas atau 78,2% mengaku tidak ada kelompok agama yang tidak mereka sukai. Sebagian kecil lainnya (11,2%) menyatakan tidak menyukai penganut aliran kepercayaan, 5,1% tidak menyukai pemeluk Kong Hu Chu, 3% tidak menyukai pemeluk Buddha, 2,1% tidak menyukai pemeluk Katolik, 2% tidak menyukai pemeluk Kristen, dan 1,8% tidak menyukai pemeluk Hindu.

Total ada 27,5% responden yang tidak menyukai kelompok agama lain. Dari mereka yang tidak suka, umumnya mengaku keberatan kelompok agama lain menjadi bupati/wali kota, menjadi guru sekolah negeri, menggelar acara keagamaan, hingga membangun tempat ibadah.

Terhadap etnis lain, mayoritas atau 84,7% mengaku tidak ada yang tidak mereka sukai. Namun, masih ada 8,8% yang tidak menyukai etnis Tionghoa, 3,5% tidak menyukai orang Batak, 2% tidak menyukai orang Madura, dan sebagian kecil lainnya tidak menyukai beberapa etnis lain. Dari mereka yang tidak suka kelompok etnis yang berbeda, umumnya merasa sangat atau keberatan jika anggota kelompok tersebut menjadi bupati/wali kota, membangun tempat ibadah, menjadi guru sekolah negeri, dan mengadakan acara keagamaan.

Dukungan terhadap ekstremisme mulai sejalan ketika dibandingkan dengan ketidaksukaan terhadap kelompok minoritas, termasuk di Jawa Tengah. Tingkat ketidaksukaan responden menjadi jauh lebih tinggi terhadap kelompok minoritas lain seperti lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT); komunis; ateis; Syiah, Wahabi, dan Ahmadiyah. Hanya 28.2% yang mengaku tidak ada kelompok minoritas lain yang tidak disukai. Umumnya mengaku ada kelompok yang tidak disukai. Ketidaksukaan tertinggi muncul terhadap kelompok LGBT+, yakni 38,5%.

Di antara responden yang tidak suka pada salah satu kelompok lain tersebut, umumnya merasa sangat atau keberatan jika anggota kelompok tersebut menjadi guru sekolah negeri, menjadi bupati/wali kota, mengadakan acara keagamaan, dan membangun tempat ibadah. Bahkan mayoritas keberatan/sangat keberatan jika anggota kelompok tersebut tinggal di sekitar mereka.

“Memang tidak mungkin berharap semua orang menyukai kita. Muhammadiyah saja ada yang tidak suka, bahkan NU, tetapi kecil, tidak sebesar kelompok yang di atas,” kata Hendro.

Yang menjadi sorotan adalah efek ketidaksukaan terhadap kelompok minoritas seperti LGBT, komunis, ateis, Syiah, hingga Ahmadiyah. Jika efek ketidaksukaan terhadap perbedaan etnis tidak terlalu besar, efek terhadap kelompok LGBT hingga Syiah sangat besar karena mereka kerap dikejar-kejar oleh masyarakat mayoritas. Kondisi ini tidak hanya muncul di Jawa Tengah, tetapi juga muncul sebagai pertanda ekstrimisme di banyak tempat.

Dulu Kantong PKI


Meskipun tergolong kecil, dukungan terhadap kekerasan ekstrem atau ekstremisme dan organisasi pelaku kekerasan di Jawa Tengah masih ada. Ada kecenderungan dukungan ini lebih banyak muncul di daerah-daerah yang pada masa lalu sempat menjadi basis kelompok politik tertentu.

Hasil survei LSI di Jawa Tengah pada 16-29 Mei 2022 menunjukkan dukungan terhadap kekerasan ekstrem muncul cenderung lebih tinggi di wilayah yang masuk dalam Daerah Pemilihan (Dapil) Jateng 3 dan Jateng 5. Dapil Jateng 3 terdiri atas Kabupaten Blora, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Pati, dan Kabupaten Rembang. Sedangkan Dapil Jateng 5 terdiri atas Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sukoharjo, Kota Solo, dan Klaten.

Daerah-daerah ini memiliki kemiripan latar belakang secara politik pada masa lalu, khususnya pada pemilu legislatif pertama pada 1957. Saat itu, PKI meraup kursi terbanyak di sebagian besar wilayah itu.

Data yang dihimpun Espos dari berbagai publikasi menyebutkan pada 1957 partai tersebut mendapatkan kursi terbanyak di Blora (16), Grobogan (18), dan Pati (14). Di Rembang, partai yang kelak dilarang pada masa Orde Baru itu meraih tujuh kursi atau lebih sedikit daripada Partai Nasional Indonesia (PNI) dan NU yang meraih masing-masing delapan kursi.

Partai itu juga meraih kursi terbanyak di Boyolali (20), Sukoharjo (21), dan Kota Solo (17). Di luar Dapil Jateng 3 dan Jateng 5, daerah-daerah di Dapil Jateng 4 juga mengalami fenomena serupa pada 1957. Kala itu, PKI meraih kursi terbanyak di Karanganyar (16) dan Wonogiri (16), tetapi kalah dari PNI di Sragen. Meski demikian, dukungan terhadap kekerasan ekstrem dari warga di wilayah Dapil Jateng 6 kurang dari 10% atau tidak setinggi dua dapil sebelumnya.

Pada 2022, hasil survei LSI menunjukkan fenomena yang berkebalikan dari era 1950-an itu. Espos membandingkan perolehan kursi PKI di daerah-daerah di Jateng pada 1957 dengan tingkat dukungan terhadap kekerasan ekstrem di daerah-daerah itu, kecuali Klaten, Temanggung, Wonosobo, Batang, Kota Magelang, dan Kota Salatiga. Keenam daerah ini tidak dimasukkan karena ketiadaan data pemilu 1957.

Hasilnya, terdapat korelasi positif yang cukup (0,296) antara kedua data itu. Korelasi positif yang lebih besar muncul saat perolehan kursi PKI pada 1957 itu disandingkan dengan dukungan terhadap penerapan hukum pidana syariat (0,617) dan dukungan terhadap norma gender regresif (0,456).

Norma gender regresif adalah norma yang dikonstruksikan secara sosial tentang perlakukan tidak setara antara laki-laki dan perempuan yang sering merugikan perempuan. Norma itu antara lain anggapan kepemimpinan harus di tangan laki-laki, nikah muda sebagai solusi untuk menghindari zina, dan pandangan tentang hijab.



Ekstrem Kiri ke Kanan

Dengan demikian, ada fenomena yang bertolak belakang antara yang terjadi pada era 1950-an dengan saat ini. Sosiolog dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNS, Aris Arif Mundayat, mengakui munculnya fenomena itu. Dia menyebut ada moral panic yang menjadi penyebabnya.

“Dulu, daerah-daerah bekas PKI, itu sekarang menjadi kuat Islamnya. Yang disebut dengan daerah Islam itu yang kemudian diteliti ini, yang toleransinya rendah. Ini pertanyaannya, kalau dulu kuat komunisnya, kenapa sekarang intoleran?” kata Aris.

Aris menyebut moral panic terjadi di kantong-kantong yang sudah berubah tersebut. Sebagai daerah muslim baru, moral panic muncul ketika masyarakat setempat menghadapi perubahan yang begitu cepat.

“Saya melakukan penelitian kualitatif. Kantong-kantong komunis yang berubah jadi Islam, ada persoalan yang disebut moral panic. Ini kan seperti Islam baru. Moral panic menghadapi perubahan yang sedemikian cepat, muncul diskotik, muncul mal, muncul hal-hal yang baru. Muncul ketakutan orang tua kalau anak mereka masuk ke situ. Baik yang Islam maupun yang Kristen, diperkuat agamanya,” kata dia.

Moral panic kedua, kata Aris, adalah kekhawatiran orang tua jika anaknya terjerumus penyalahgunaan narkoba. Dalam situasi ini, orang tua cenderung memperkuat pelajaran agama bagi anak-anak. Ini dilakukan dengan menyekolahkan anak-anak ke sekolah dengan identitas agama. “Ini memunculkan persoalan intoleransi agama di kalangan remaja,” ujarnya.

Kembali ke masa lalu, Aris menilai ada kekosongan ideologi yang terjadi pada masyarakat di daerah-daerah tersebut. Ini terjadi setelah komunisme dilarang sejak era pemerintah Orde Baru.

“Ketika partai-partai komunis hilang, mereka tidak menemukan ideologi, lalu mereka menemukannya dalam agama. Ketika terjadi kekosongan ideologis, mereka larinya ke agama. Lalu terjadi penyatuan moral panic, kekosongan ideologis, dan solusi agama [keyakinan agama sebagai satu-satunya solusi] itu,” kata Aris.

Latar belakang politik dan ideologi masa lalu bukan satu-satunya sebab. Survei ini juga mengukur deprivasi politik atau penilaian seseorang atau kelompoknya kurang beruntung dibandingkan kelompok lain yang relevan. Perasaan ini memunculkan perasaan marah, benci, dan rasa memiliki hak lebih besar daripada lainnya.

Di kalangan muslim di Jawa Tengah, deprivasi ini cenderung rendah. Hanya 11,7% yang merasa umat Islam kalah pengaruh dalam politik dan hanya 4,2% yang merasa umat Islam diperlakukan tidak adil oleh umat agama lain. Namun, 29,2% merasa ekonomi umat Islam lebih buruk daripada umat lain.



“Deprivasi itu bisa kita katakan sebuah kekalahan atau perasaan kalah atas situasi tertentu, meski [dalam survei ini] kecil. [Perasaan kalah secara politik-ekonomi] ini muncul dan akan membentuk populisme. Basisnya solidaritas, solidaritas memerlukan identitas, identitas paling kuat adalah agama,” tutupnya.





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya