SOLOPOS.COM - Sejumlah haul truck dioperasikan di area tambang terbuka PT Freeport Indonesia di Timika, Papua, Sabtu (19/9/2015). (Antara)

Kontrak Freeport Indonesia memang baru akan dinegosiasikan 2 tahun sebelum berakhir. Namun hingga kini Freeport belum mendivestasikan saham.

Solopos.com, JAKARTA — PT Freeport Indonesia bisa dinyatakan tidak bisa memenuhi isi perjanjian kontrak karya (KK) atau default jika tidak kunjung menawarkan saham divestasinya sebesar 10,64%.

Promosi Siap Layani Arus Balik, Posko Mudik BRImo Hadir di Rute Strategis Ini

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 77/2014 tentang Perubahan Ketiga PP No. 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Freeport Indonesia harus mulai mendivestasikan sahamnya hingga 20% pada 14 Oktober 2015 dan 30% pada 14 Oktober 2019. Saat ini, saham pemerintah di Freeport baru sebesar 9,36%.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono mengatakan hingga saat ini pemerintah masih menunggu penawaran saham dari Freeport. “Ya mereka bilangnya segera [mengajukan] 10,64% itu. Nanti mereka menawarkan harganya berapa, asumsinya berapa, hitung-hitungannya seperti apa,” katanya di Gedung DPR, Senin (23/11/2015).

Menurutnya, dalam PP No. 77/2014, memang tidak ada batasan waktu serta sanksi bagi PT Freeport Indonesia jika tak juga menawarkan sahamnya. Sebagai pemerintah, posisinya hanya untuk mengingatkan. Namun, dia menyatakan dalam mekanisme kontrak, Freeport bisa dinyatakan default jika tidak memenuhi kewajibannya tersebut.

Perusahaan asal Amerika Serikat itu pun seharusnya sudah menawarkan sahamnya 14 Oktober 2015 lalu. “Mekanismenya kalau mereka gak memenuhi kewajiban, kita akan kasih peringatan, peringatan, kemudian ada teguran, dan bisa default,” ujarnya.

Direktur Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (Ciruss) menilai status default tersebut bisa dikenakan terhadap PT Freeport Indonesia. Pasalnya, menurut kontrak karya Freeport, ketentuan divestasi tidak bersifat tetap (nail down) sehingga harus mengikuti peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

“Freeport tidak bisa menghindar dari hal itu. Kalau tidak dipatuhi, maka bisa menjadi wanprestasi dan jadi pertimbangan [pemerintah] untuk tidak memperpanjang [operasi] lagi,” tuturnya kepada Bisnis/JIBI.

Budi melanjutkan konsekuensi yang paling jauh bisa diterima Freeport Indonesia setelah dinyatakan default adalah terminasi kontrak. Menurutnya, seharusnya pemerintah memberikan peringatan hingga tiga kali. Di samping itu, harus ada pihak yang siap untuk membeli saham divestasinya. “Freeport bisa menghindar kalau yang beli enggak ada,” katanya.

Terkait hal tersebut, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno sudah mengirimkan surat ke Kementerian ESDM. Isinya mengajukan PT Aneka Tambang (Persero) dan PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) untuk membeli saham divestasi Freeport. Kedua perusahaan itu pun sudah menyatakan kesanggupannya dan sedang menyapkan berbagai opsi pendanaan.

Sementara itu, Freeport masih keukeuh menunggu mekanisme divestasi yang jelas. Namun, tidak jelas juga mekanisme apa yang dimaksud karena berdasarkan PP 77/2014, sudah dijelaskan bahwa penawaran dilakukan pertama kali kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Jika pemerintah pusat maupun daerah tidak berminat, maka akan ditawarkan secara berjenjang kepada BUMN, badan usaha milik daerah (BUMD), dan badan usaha swasta nasional. “Divestasi itu terantung pada peraturan yang ada. Sekarang kita menunggu,” ujar juru bicara Freeport Indonesia Riza Pratama.

Seperti diketahui, Freeport sudah menyatakan keinginannya untuk mendivestasikan sahamnya lewat Bursa Efek Indonesia (BEI) melalui skema penawaran saham perdana (initial public offering/IPO). Mereka beralasan skema tersebut lebih transparan dan akuntabel. Namun, dalam PP 77/2014 skema IPO tersebut tidak diatur.

Menanggapi hal itu, Ketua Komisi VII DPR Kardaya Warnika menegaskan divestasi tersebut jangan sampai dilakukan lewat IPO. Selain tidak ada mekanisme hukumnya, divestasi lewat IPO sangat rawan pada penguasaan asing. “Tujuan divestasi itu agar saham yang dimiliki Indonesia meningkat. Kalau di-IPO terus yang beli asing, enggak ketemu tujuannya,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya