SOLOPOS.COM - Sejumlah haul truck dioperasikan di area tambang terbuka PT Freeport Indonesia di Timika, Papua, Sabtu (19/9/2015). (Antara)

Kontrak Freeport Indonesia bisa terganjal pembangunan smelter Freeport yang perkembangannya jauh di bawah target.

Solopos.com, JAKARTA — Kemajuan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) yang menjadi komitmen PT Freeport Indonesia dalam menjalankan bisnisnya di Indonesia, masih jauh di bawah target. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat hingga awal Januari 2016, progres pembangunan masih berada di angka 14%.

Promosi BRI Borong 12 Penghargaan 13th Infobank-Isentia Digital Brand Recognition 2024

Padahal, fasilitas pemurnian tersebut diharuskan selesai pada awal 2017 seiring dengan pemberlakuan kebijakan ekspor mineral murni yang diizinkan. Jika Freeport Indonesia tak kunjung menyelesaikan proyek smelter tersebut, perusahaan tambang asal AS itu tidak diizinkan untuk ekspor.

Sebagai informasi, kewajiban membangun smelter merupakan implementasi turunan dari UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam beleid tersebut, pemerintah melarang adanya kegiatan ekspor untuk beberapa komoditas termasuk konsentrat tembaga, emas, dan perak yang diproduksi Freeport.

Kendati begitu, Peraturan Menteri ESDM No. 11/2014 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian, Freeport masih diperbolehkan mengekspor konsentrat dengan memenuhi sejumlah syarat. Selain administratif, perusahaan tambang asal Amerika Serikat juga harus melaporkan kemajuan proyek smelter dengan perkembangan paling sedikit 60% dari target pembangunan setiap enam bulan.

Menteri ESDM Sudirman Said menegaskan pihaknya akan membebankan setoran uang yang akan dikeluarkan perusahaan untuk membangun smelter kepada negara sebagai jaminan komitmen. “Karena target pembangunan smelter belum tercapai, kami minta Freeport setor uang yang harusnya dikeluarkan [untuk bangun smelter]. Mereka harus tunjukkan komitmen,” tegas Sudirman saat jumpa pers di Jakarta, Rabu (20/1).

Hal ini akan menjadi salah satu persyaratan perpanjangan izin ekspor. Di sisi lain persyaratan yang harus dipenuhi Freeport adalah pembayaran bea keluar ekspor konsentrat. Adapun ketentuan ini masih sama yakni 5% dari total nilai ekspor.

Pada 2014, Freeport juga sudah melunasi biaya komitmen sebesar US$115 juta atau 5% dari total nilai pembangunan smelter sebesar US$2,3 miliar. Jaminan tersebut ditempatkan di bank milik pemerintah dan tidak boleh dipergunakan hingga proyek selesai. Namun demikian, karena progress pembangunan belum mencapai target yang seharusnya, pemerintah memutuskan untuk menambahkan kembali jumlah dana yang harus disetorkan Freeport ke bank milik pemerintah.

Sayangnya, Sudirman belum dapat menyebutkan berapa jumlah dana tambahan yang harus disetorkan tersebut. “Nanti jumlahnya akan dituangkan dalam surat,” tuturnya. Dia berharap, pihak Freeport sudah merespon surat tersebut sebelum 28 Januari 2016, yakni sebelum izin habis.

Sementara itu, Executive President Public Affair Freeport Indonesia Clementio Lamury menyatakan pihaknya baru akan melakukan peletakan batu pertama (groundbreaking) proyek smelter di Gresik pada Juli 2016. “Kami sudah ada kontrak EP [engineering and procurement] US$927 juta, lalu nanti tinggal kontrak konstruksi. Rencananya Juli konstruksi dengan Cyoda,” tuturnya seusai rapat dengar pendapat dengan komisi VII DPR, Rabu (20/1/2016).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya