SOLOPOS.COM - Sejumlah haul truck dioperasikan di area tambang terbuka PT Freeport Indonesia di Timika, Papua, Sabtu (19/9/2015). (Antara)

Kontrak Freeport tinggal hitungan tahun. Namun persyaratan seperti pembangunan smelter, termasuk setorannya, belum terpenuhi.

Solopos.com, JAKARTA — Menjelang batas akhir izin ekspor konsentrat tembaga pada Kamis (28/1/2016), PT Freeport Indonesia belum memberikan respons kepada pemerintah terkait kewajiban setoran senilai US$530 juta untuk pembangunan smelter tembaga katoda.

Promosi Usaha Endog Lewo Garut Sukses Dongkrak Produksi Berkat BRI KlasterkuHidupku

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono mengatakan pihaknya belum menerima rencana pembayaran kewajiban tersebut. Adapun setoran tersebut menjadi salah satu syarat bagi Freeport Indonesia untuk mendapatkan izin ekspor enam bulanan yang keempat sejak munculnya larangan ekspor mineral mentah pada 2014.

“Sampai sekarang belum ada respons. Kita tunggu saja,” ujarnya di Jakarta, Selasa (26/1/2016). Dia mengatakan jika perusahaan asal Amerika Serikat tersebut belum juga membayarkan kewajibannya tersebut, maka ekspornya akan berhenti mulai 29 Januari 2016.

Sementara itu, Freeport Indonesia belum belum bisa memastikan kapan kewajiban tersebut akan dipenuhi. “Kami masih terus diskusi dengan pemerintah untuk masalah ini,” kata juru bicara Freeport Indonesia Riza Pratama kepada Bisnis/JIBI.

Direktur Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (Ciruss) Budi Santoso menilai masalah izin ekspor konsentrat tembaga Freeport bisa menimbulkan kerugian bagi Indonesia jika tidak ditangani dengan tepat. Menurutnya, pemerintah harus bisa memperhatikan dan memilih strategi pemanfaatan sebesar-besarnya deposit Tambang Grasberg.

“Kalau freeport sekarang enggak beroperasi, dampaknya bisa lebih besar. Pada kondisi ini pemerintah harus bisa melakukan terobosan hukum,” katanya.

Dia menjelaskan masalah ekspor yang menjadi hak Freeport sesuai Kontrak Karya (KK) bisa saja berlanjut ke arbitrase. Apalagi, Freeport sedang pada posisi yang kurang nyaman dengan belum mendapat jaminan perpanjangan operasi.

“Apabila urusan sampai ke arbitrase, maka pemerintah tidak bisa menghentikan Freeport dan prosesnya bisa memakan waktu yang lama. Selain itu, dampaknya juga kepada pendapatan pemerintah, Freeport, dan kelanjutan operasinya,” tuturnya.

Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No. 11/2014 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian, konsentrat tembaga memang bisa diekspor dengan memenuhi sejumlah persyaratan. Selain persyaratan administratif, perusahaan tambang yang ingin mendapatkan rekomendasi izin ekspor konsentrat tembaga harus melaporkan kemajuan proyek smelter dengan perkembangan paling sedikit 60% dari target pembangunan setiap enam bulan sekali.

Freeport pun sebenarnya sudah menyetor dana komitmen kesungguhan pembangunan smelter senilai US$115 juta pada 2014 dan US$20 juta pada tahun lalu. Namun, karena progres pembangunannya baru mencapai 14% atau jauh lebih rendah dari target sebesar 30%, maka pemerintah mewajibkan Freeport menyetorkan kembali dana senilai US$530 juta. Smelter itu baru akan groundbreaking pada Juli mendatang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya