SOLOPOS.COM - Guru besar termuda UNS Solo, Cahyadi. (Solopos.com/Maymunah Nasution)

Solopos.com, SOLO — Tidak mudah bagi seorang Muhammad Cahyadi meraih gelar Guru Besar di usia 37 tahun. Tetapi, kini dia bersyukur telah menjadi profesor termuda Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo di bidang Bioteknologi Peternakan.

“Saya hanyalah anak petani dari Lahat, Sumatra Selatan. Namun sejak SMA saya mengenali diri saya, memang saya orang yang cukup berambisi, senang mendapat gelar terbaik atau yang lainnya. Hal itulah yang terus membuat saya mengenali potensi terbaik saya dan berhasil meneruskan pendidikan ke Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta,” ujar Cahyadi saat ditemui Solopos.com di Fakultas Peternakan UNS, Senin (23/10/2023).

Promosi BRI Kantor Cabang Sukoharjo Salurkan CSR Senilai Lebih dari Rp1 Miliar

Keterbatasan dana pendidikan dari keluarganya tidak membuat Cahyadi kehilangan akal. Dia kemudian mencari beasiswa yang memberikan keuntungan terbaik baginya. Hal tersebut kemudian membawanya kepada Tanoto Foundation untuk membiayai kuliah S1 di UGM.

Meskipun kuliah Produksi Ternak UGM bukanlah jurusan utama yang dia inginkan, tetapi Cahyadi berbesar hati menerima nasibnya dan tetap fokus belajar di bidang tersebut.

Tidak lama baginya menyadari berbagai aspek kehidupan Indonesia yang masih dapat disokong oleh studi peternakan, salah satunya mengenai ketahanan pangan dan pemenuhan daging di Indonesia.

Kepada Solopos.com, Cahyadi mengatakan isu tersebut membuatnya merasa getir. Semasa kuliah dia juga sering menemui bagaimana daging sapi di pasaran sering dicampur dengan daging hewan lain, termasuk celeng ataupun tikus karena jumlahnya terbatas.

Berbekal dari kondisi tersebut, Cahyadi menyadari perlu ada inovasi pengembangan marker genomik pada subsektor peternakan. Inovasi tersebut diharapkan bisa dimanfaatkan masyarakat untuk mengenali daging sapi yang mengandung material tidak sesuai dengan label kemasan.

“Daging sapi dipalsukan atau dicampur daging ayam, daging babi ataupun spesies non-halal yang lebih murah `kan tentunya melanggar UU No. 18/2012 tentang Pangan dan UU No. 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal. Hal tersebut sudah seharusnya diawasi,” tambah Cahyadi.

Cahyadi berhasil mengembangkan inovasi tersebut lewat pendidikan Doktoral di Chungnam National University, Korea Selatan. Dia menempuh pendidikan tersebut selama 3 tahun dari 2012-2015.

Cahyadi mengaku pendidikan S3 tersebut tidaklah mudah. Dia sering kali mengalami jet lag karena perbedaan kultural dan stigma antara Korea Selatan dengan Indonesia, serta ada rasa rindu tidak terbendung terhadap keluarga di Indonesia.

Namun, Cahyadi menghapus rasa-rasa sulit tersebut dengan tetap aktif memenuhi permintaan dan tuntutan para pengajar di Chungnam National University. Menurut dia, bukanlah kesempatan mudah untuk bisa mengenyam salah satu pendidikan terbaik yang fokus di bidang bioteknologi peternakan, sehingga dia berusaha sebaik mungkin.

“Walaupun sulit, saya sudah menyadari apa yang saya kejar akan membuahkan hal manis. Hal itu membuat saya tetap bersemangat menyelesaikan kuliah S3 saya di Korea Selatan terutama karena saya mendapatkan beasiswanya dari rekomendasi kampus itu sendiri,” tutur dia.

Dia merasa anak muda zaman sekarang harus berani berjuang dan tidak takut berambisi jika memang memiliki impian setinggi langit.

Dia mencontohkan dirinya sendiri yang berambisi menjadi profesor termuda UNS di usia 35 tahun tetapi akhirnya dapat terwujud di usia 37 tahun.

Menurut Cahyadi, jika ada satu impian yang belum terwujud, anak muda tidak boleh berkecil hati. Dia yakin jika satu hal belum terwujud masih ada banyak cara mewujudkannya, untuk itu dia mengajak anak-anak muda tetap bersemangat dalam menggapai impian mereka.

Kini setelah menjadi Guru Besar, Cahyadi sudah menyiapkan beberapa hal untuk mengembangkan peternakan di Indonesia untuk upaya meningkatkan ketahanan pangan negara ini.

Salah satu hal yang menurutnya dapat dilakukan adalah mengembangkan peternakan berdasarkan kearifan lokal dan kebudayaan di masing-masing daerah.

“Coba kita lihat, India bisa ekspor daging sapi dengan murah tidak seperti Australia. Setelah saya pelajari ternyata mereka mengembangkan peternakan berdasarkan budaya, di sana sapi malah dimuliakan, tentunya itu bisa menarik apalagi kalau di Indonesia pusat-pusat peternakan itu juga memiliki kekhasan budaya sendiri seperti di Banyumas, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi,” ujar Cahyadi.

Dia berharap Indonesia bisa segera meningkatkan pemenuhan kebutuhan daging sapi dan susu perah sapi untuk memenuhi kebutuhan protein masyarakat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya